Saturday, May 28, 2005

Kutipan untuk Laporan Jurnalistik

oleh Masmimar Mangiang, Pemimpin Redaksi harian ekonomi Neraca

Seperempat abad yang lampau negara-negara yang tergabung di dalam gerakan Non-Blok hendak menyelenggarakan pertemuan, dan Kuba menjadi tuan rumah. Sebagai tuan rumah, pemerintah Havana menyiapkan agenda pertemuan, antara lain merencanakan konflik Iran dengan Amerika Serikat, sebagai salah satu sumber ketegangan dalam politik internasional pada masa itu, dibicarakan dalam pertemuan tersebut.

Indonesia berkeberatan dengan agenda ini. Menteri Luar Negeri Indonesia (waktu itu) Mochtar Kusumaatmadja memberikan keterangan kepada wartawan. Harian Kompas turut menyiarkan keterangan Menteri Kusumaatmadja dan menulis judul beritanya seperti berikut ini (tanggal edisi tidak tercatat).

"Usul mengenai Pertemuan Non Blok:
Hendaknya Juga Dibicarakan Soal Afganistan
dan Kamboja, Kecuali Iran-AS"

Menurut keterangan Menteri Kusumaatmadja -- seperti yang terbaca di dalam berita tersebut -- Indonesia mengusulkan, jika konflik Iran-Amerika Serikat dibicarakan, persoalan Afganistan (yang diduduki tentara Uni Soviet) dan Kamboja (yang diserbu Vietnam) juga harus dibicarakan. Dengan kalimat yang lain dapat dinyatakan bahwa menurut Indonesia, hendaknya juga dibicarakan soal Afganistan dan Kamboja, selain Iran-AS.

Hanya saja judul berita yang diturunkan Kompas bermakna lain. Judul itu menyatakan bahwa Indonesia mengusulkan agar pertemuan non-blok membicarakan masalah Afganistan dan Kamboja, tetapi TIDAK MEMBICARAKAN konflik Iran-Amerika Serikat.

Ini adalah kasus misleading oleh judul berita. Pembaca --yang berbahasa Indonesia dengan baik-- yang tidak sampai mengikuti isi laporan tersebut (hanya membaca judul berita) akan mendapatkan informasi yang keliru. Apa sebab terjadinya perubahan pengertian kalimat? Penyebabnya adalah penyamaan makna kata "kecuali" dengan kata "selain". Penyamaan makna itu mungkin berasal dari Menteri Kusumaatmadja, dan boleh jadi juga berasal dari reporter yang menulis atau editor yang menyunting berita tersebut.

Dalam masa yang hampir sama, suratkabar harian Sinar Harapan (tanggal edisi juga tidak tercatat) menurunkan berita tentang polemik test diagnostik yang oleh sebagian orang dianggap tidak bermanfaat dan hanya membuang-buang biaya. Berita suratkabar tersebut berisikan keterangan Menteri Keuangan (waktu itu) Ali Wardhana, dengan judul sebagai berikut.

Menteri Keuangan Ali Wardhana:
Test Diagnostik Tidak Hanya Menghabiskan Energi dan Biaya

Pembaca yang memiliki rasa bahasa yang baik, dan hanya membaca judul berita itu (tidak mengikuti keterangan Menteri Ali Wardhana secara penuh) akan mendapat kesan bahwa Menteri Wardhana juga tidak setuju dengan test diagnostik itu. Kalimat judul tersebut seolah-olah menyatakan bahwa menurut Menteri Wardhana, test diagnostik tidak hanya menghabiskan energi dan biaya, TETAPI ADA YANG LAIN YANG IA HABISKAN (bersifat pemborosan, atau boleh jadi kerugian). Kenapa demikian? Karena frase dalam kalimat Ali Wardhana yang diambil sebagai judul menggiring orang untuk meneruskan kalimat tersebut dengan pola yang dibiasakan (“tidak hanya itu, tapi lebih dari itu”, atau “tidak hanya itu, tapi juga ini”). Judul ini juga berpotensi misleading.

Jika penyamaan makna kata “selain” dan “kecuali” pada kasus pertama bersumber pada wartawan, maka ia akan menjadi persoalan lemahnya pemahaman wartawan akan makna kata. Tetapi jika penyamaan makna itu berasal dari Menteri Kusumaatmadja, maka ia menjadi persoalan perlakuan wartawan terhadap kutipan yang dia tulis di dalam laporannya. Itu berarti, si wartawan yang mengutip keterangan Menteri Kusumaatmadja membiarkan kekeliruan berbahasa narasumbernya muncul dalam laporan yang dia tulis. Kasus kedua juga meyangkut cara memperlakukan kutipan untuk laporan jurnalistik. Pemenggalan kalimat dapat mengubah arti, atau setidak-tidaknya dapat menggiring audience memahami isi pesan secara keliru.

Kedua-duanya mengisyaratkan bahwa dalam praktek kerap muncul kasus yang mengharuskan wartawan memperbaiki kutipan yang berasal dari keterangan lisan narasumber, atau bahkan keterangan yang disampaikan secara tertulis. Perbaikan itu sama sekali bukanlah pekerjaan terlarang. Tujuannya antara lain adalah untuk memperkuat efektivitas komunikasi, dan menyelamatkan khalayak dari contoh buruk berbahasa, namun ia harus dilakukan dengan teliti sehingga tidak terjadi perubahan makna pesan.

Masalah ini senantiasa dihadapi wartawan. Ia ada sepanjang masa, apalagi ketika harus mengutip keterangan narasumber yang disampaikan dengan bahasa yang kacau balau: mengandung kesalahan gramatika, cacat dalam logika, atau tidak memiliki rasa bahasa yang baik. Ia juga akan menjadi persoalan dalam mengutip keterangan yang berisikan pemborosan kata, kesalahan pemakaian istilah, kesinambungan gagasan yang tidak menentu, maupun keterangan yang tidak eksplisit.

Beberapa contoh berikut ini --diangkat dari kasus yang agak mutakhir-- adalah kutipan “bermasalah” yang jika diperbaiki dengan berhati-hati sebetulnya tidak menimbulkan persoalan.

Kasus 01

Tampilan di Media

"Saat ini sedang dilakukan pemetaan potensi-potensi awan. Kita harus mencari titik-titik awan secermat mungkin, sehingga hujan buatan yang kita lakukan tidak sia-sia. Jatuh ke laut misalnya," katanya. (Kompas, 25 Agustus 2003, keterangan Menteri Negara Riset dan Teknologi Hatta Rajasa tentang hujan buatan)

Pertimbangan

Kata “sedang” tidak diperlukan lagi (dapat dibuang) di dalam kalimat yang sudah mengandung keterangan waktu yang jelas (“saat ini”),karena ia hanya akan menimbulkan pemborosan kata.

Kata “potensi” tidak perlu ditulis dalam bentuk ulang (yang barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan sifat jamak). Hujan buatan tidak dilakukan, melainkan diciptakan.

Hasil Perbaikan

--- Versi A
"Saat ini dilakukan pemetaan potensi awan. Kita harus mencari titik-titik awan secermat mungkin, sehingga hujan buatan tidak sia-sia, jatuh ke laut misalnya," katanya.

--- Versi B
Saat ini, menurut Hatta Radjasa, dilakukan pemetaan potensi awan, titik-titik awan dicari secermat mungkin, sehingga hujan buatan tidak sia-sia, misalnya jatuh ke laut.

Kasus 02

Tampilan di Media

"Saat ini kualitas demokrasi kita sedang meningkat. Kesadaran Masyarakat [sic!] untuk menghadirkan figur pemerintahan yang bersih sangat kuat. Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, dikhawatirkan bakal menimbulkan letupan di kemudian hari," jelasnya. (Pikiran Rakyat, 24 September 2004, katerangan praktikus hukum Dindin S. Maolani, SH tentang calon ketua DPRD Jawa Barat)

Pertimbangan

Kalimat “Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, dikhawatirkan bakal menimbulkan letupan dikemudian hari" rancu. Ia perlu diubah agar menjadi logis. Di dalam kalimat ini pun penulisan kata depan “di” dibuat seperti penulisan awalan “di”.

Kata “sedang” tidak diperlukan lagi di dalam kalimat yang sudah memiliki keterangan waktu yang jelas (“kini”), karena ia hanya akan menimbulkan pemborosan kata.

Ketua DPRD bukan orang pemerintah.
“Kita” lebih baik diganti dengan “Indonesia”, agar media tidak menjadi bagian dari objek pembicaraan.

Praktisi adalah bentuk jamak. Walau kata itu bukan merupakan bagian dari kutipan, Didin S. sebaiknya disebut sebagai praktikus. Akan lebih jelas lagi jika Didin S. disebut sebagai pengacara, kalau dia pengacara.

Di dalam jurnalistik dianjurkan agar wartawan mengutamakan penggunaan istilah spesifik, dibandingkan dengan istilah yang lebih umum atau bermakna luas. Walau juga tidak merupakan bagian dari isi pernyataan narasumber, bentuk atribusi “jelasnya” adalah keliru. “Jelas” bukanlah kata kerja, melainkan kata sifat. Kekeliruan terjadi akibat penghematan bahasa yang berlebih-lebihan dan mengorbankan logika. Kita bisa mengubah bentuk “Didin menjelaskan,” atau “kata Didin S. menjelaskan.”

Hasil Perbaikan

Versi A
Menurut praktikus hukum Dindin S. Maolani, SH, kini kualitas demokrasi di Indonesia meningkat. Kesadaran masyarakat untuk menghadirkan figur yang bersih, katanya, sangat kuat. “Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, dikhawatirkan timbul letupan di kemudian hari," katanya.

Versi B
Menurut praktikus hukum Dindin S. Maolani, SH, kini kualitas demokrasi di Indonesia meningkat. Kesadaran masyarakat untuk menghadirkan figur yang bersih, katanya, sangat kuat. “Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, ia dikhawatirkan menimbulkan letupan di kemudian hari," katanya.

Versi C (tanpa mengubah kata “kita”, jika dianggap itu hak narasumber).
"Saat ini kualitas demokrasi kita meningkat. Kesadaran masyarakat untuk menghadirkan figur yang bersih sangat kuat,” katanya. Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, menurut Didin, dikhawatirkan timbul letupan di kemudian hari.

Kasus 03

Tampilan di media

"Tiga ratus anggota kami belum tahu apakah menjadi korban atau berada di tempat-tempat pengungsian. Saya berharap, satu dua hari ini dapat diketahui apakah meninggal atau masih hidup," katanya. (Antara, 27 Desember 2004, keterangan Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Irjen Pol. Bahrumsyah)

Pertimbangan

Kalimat “Tiga ratus anggota kami belum tahu apakah menjadi korban atau berada di tempat-tempat pengungsian” rancu. Siapa yang belum tahu, apakah 300 polisi itu menjadi korban atau berada di tempat pengungsian? Tiga ratus orang polisi itu, ataukah Bahrumsyah? Menurut kalimat yang tertulis, yang belum tahu adalah 300 polisi itu sendiri (tidak logis).

Kalimat “Saya berharap, satu dua hari ini dapat diketahui apakah meninggal atau masih hidup” juga rancu (tidak memiliki objek, tetapi ada keterangan objek)

Hasil Perbaikan

--- Versi A
Bahrumsyah mengatakan, 300 polisi belum diketahui nasibnya, apakah menjadi korban atau berada di tempat pengungsian. “Saya berharap, dalam satu dua hari ini dapat diketahui apakah mereka meninggal atau masih hidup," katanya.

--- Versi B
"Tiga ratus anggota kami belum diketahui nasibnya, apakah menjadi korban atau berada di tempat pengungsian. Saya berharap, dalam satu dua hari ini dapat diketahui apakah mereka meninggal atau masih hidup," katanya.

Kasus 04

Tampilan di Media

"Bahkan saat pertama kali datang bersama Wapres, banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja, tanpa ada penanganan lebih lanjut karena tidak adanya petugas medis maupun perawat," ucap Basuki. (Antara, 27 Desember 2004, keterangan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum, Basuki Hadi Mulyono)

Pertimbangan

Siapa yang datang bersama Wakil Presiden? Yang datang itu adalah Basuki Hadi. Hanya saja menurut kalimat yang ditampilkan, yang datang bersama Wakil Presiden itu adalah korban, dan pada saat pertama kali datang itu banyak di antara mereka yang luka maupun meninggal, dan diletakkan begitu saja.

Di dalam kalimat ini ada kategorisasi yang kacau. Kedudukan istilah “petugas Medis” disetarakan dengan “perawat”. Pada jenjang abstraksi kata, “petugas Medis” berada di anak tangga yang lebih tinggi (bermakna lebih luas) dibandingkan dengan “perawat”. “Perawat” adalah “petugas medis” atau salah satu jenis “petugas medis”, tetapi “petugas medis” tidak selalu “perawat”.

Hasil Perbaikan

--- Versi A
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadi Mulyono menceritakan, saat pertama kali dia datang bersama Wakil Presiden, bahkan banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja. Katanya, tidak ada petugas medis di situ.

--- Versi B
"Bahkan saat pertama kali saya datang bersama Wapres, banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja, tanpa ada penanganan lebih lanjut karena tidak ada petugas medis," kata Basuki.

--- Versi C (kalau ingin lebih tepat)
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadi Mulyono menceritakan, bahkan saat pertama kali dia datang bersama Wakil Presiden, banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja. Katanya, tidak ada perawat maupun petugas medis lainnya di situ.

Kasus 05

Tampilan di Media

“Kami telah mengeluarkan daftar pencarian orang sebanyak 11 terhadap warga negara asing yang semuanya adalah warga negara Malaysia dan lima warga negara Indonesia sendiri,” kata Kapolda. (Sinar Harapan, 8 Maret 2005, keterangan Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Polisi Dodi Sumantyawan)

Pertimbangan

Kalimat yang diucapkan Kapolda Papua (seperti yang ditulis wartawan) itu bermakna bahwa dia sudah mengeluarkan 11 daftar pencarian orang. Daftar pencarian orang itu, menurut kalimat tersebut, dikeluarkan terhadap 11 warga negara Malaysia dan lima warga negara Indonesia. Apa makna kata-kata “dikeluarkan terhadap”? Tidak jelas.

Tetapi dapat dipastikan bahwa Kapolda Papua ini menyatakan bahwa dia sudah mengeluarkan daftar nama orang yang harus dicari (ditangkap). Di dalam daftar itu ada 11 nama orang Malaysia dan lima orang Indonesia.

Hasil Perbaikan

--- Versi A
Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen (Pol) Dodi Sumantyawan menyatakan sudah mengeluarkan daftar pencarian orang. Di dalam daftar itu, katanya, ada 11 nama warga negara Malaysia dan lima warga negara Indonesia.

--- Versi B
“Kami telah mengeluarkan daftar pencarian orang,” kata Kapolda. Ada 11 nama warga negara Malaysia di dalam daftar itu, katanya, dan lima warga negara Indonesia.

Menyunting Kutipan

Akhir tahun lalu di antara anggota mailing list Yayasan Pantau ada perdebatan perihal penulisan kutipan ini. Yang menjadi persoalan adalah penulisan hasil wawancara Koran Tempo dengan pimpinan Partai Rakyat Demokratik, Budiman Sudjatmiko, yang bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Salah satu kalimat Budiman Sudjatmiko berbunyi;

"Kita ingin memperjuangkan idealisme kita tentang bangsa yang selama ini tidak pernah terealisasi ketika kita berada di luar sistem. Idealisme ini hanya akan saya dapat dengan masuk partai politik."

Menurut salah seorang anggota mailing list ini, Radityo Djadjoeri (pernah bekerja di Majalah SWA) kata “kita” yang dipakai Budiman Sudjatmiko selayaknya diganti dengan “kami” oleh Koran Tempo, karena kata “kita” membuat orang yang diajak bicara menjadi bagian dari “kita” itu.

Anggota mailing list yang lain, Agoes Sopian (dari Yayasan Pantau) tidak sependapat dengan Radityo Djadjoeri, dan mengatakan bahwa Koran Tempo benar. Menurut dia, kutipan langsung tak bisa diperlakukan dengan semena-mena. Agoes Sopian mengajukan pendapat sebagai berikut:

“Kutipan langsung sering memberi kita suatu penanda (signifier). Dalam kasus pemberitaan Budiman Sudjatmiko -- sebagaimana dimuat Koran Tempo edisi 9 Desember 2004 -- itu sudah pada tempatnya. Saya bahkan mau memuji Koran Tempo yang tak menghilangkan kata "kita" itu. Koran Tempo hendak menunjukkan penanda (signifier) bahwa Sudjatmiko bukanlah seorang "politikus biasa." Dia seorang propagandis sejati. Dia berusaha untuk terus berempati dengan audiensnya -- media cetak atau elektronik. Koran Tempo dalam hal ini, cukup jeli untuk tak tergoda menarasikan ungkapan Budiman Sudjatmiko (sehingga bisa diedit), yang notabene akan menghilangkan penanda tadi.”

Selanjutnya Agoes Sopian menyatakan;

Alasan kutipan langsung untuk tak diedit adalah juga asas manfaat. Sering kutipan langsung memperlihatkan latar belakang budaya, etnisitas. Alasan lain, sering kutipan langsung --dengan dialek dan istilah tertentu-- juga ikut memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Anda jangan berpretensi bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sudah jadi (establish) [sic!].

Kosakata bahasa Indonesia barangkali tak sampai 10 persen dari kosakata bahasa Inggris, dan masih memerlukan simbol-simbol lain untuk ajeg, berdaya guna, siap pakai.

Pendek kata, bahasa jurnalisme tak hanya berurusan dengan tatabahasa belaka, tapi juga "rasa-bahasa." . Efek komunikatif hanya bisa berlangsung dengan baik ketika keduanya dibiarkan mengambil peranan masing-masing.

Agoes Sopian tidak menanggapi persoalan makna kata tidak samanya pengertian “kita” dengan “kami”-- yang menjadi alasan keberatan Radityo Djadjoeri, dan menginterpretasikan bahwa Koran Tempo mempertahankan kata “kita” sebagai penanda bahwa Budiman Sudjatmiko bukanlah politikus biasa, propagandis sejati, yang terus berusaha berempati dengan audience. Tidaklah diketahui apakah itu semata-mata interpretasi Agoes Sopian, ataukah dia pernah menanyakan kepada Koran Tempo alasan suratkabar tersebut mempertahankan kata “kita” itu. Yang jelas, dari Radityo Djadjoeri muncul jawaban antara lain sebagai berikut.

Saya kok kurang 'sreg' kalau wartawan mesti mengklasifikasikan narasumber seperti Anda sebut: "politikus biasa". Berarti ada "politikus luar biasa", ada "propagandis sejati" dan ada pula "propagandis tak sejati" dan sebagainya. Rasanya pers tak perlu memberi tanda 'ini orang penting' dan 'dia orang biasa'. Pers juga tak perlu mendikte pembacanya, jadi biarkan para pembaca yang menilai bobot narasumber itu sendiri -- toh persepsi orang lain-lain.

Orang ketiga, juga anggota mailing list, Hernani Sirikit (pernah bekerja di SCTV, sekarang Ketua Lembaga Konsumen Media di Surabaya, dan anggota Komisi Penyiaran Indonesia [KPI ] Daerah), nimbrung dalam debat ini. Dia menulis;

“Soal kutipan narasumber, tidak ada yang haram diedit. Semua kutipan diedit. Bisa membayangkan kutipan langsung yang tidak diedit? (Sebagai wartawan TV saya pernah mewawancarai orang yang jawabannya pakai nomor urut: pertama ... kedua ... sampai ketujuh, sampai kaki saya ditendang kameraman yang keberatan manggul kamera, dan di kantor disindir editor yang menganggap saya 'bodoh amat sih, gitu dilayani, kok gak diberitahu intinya saja'.)

Tapi saya juga pernah melihat editing berita televisi yang sangat kasar. Ketika Amien Rais menjawab pertanyaan dengan "pertama ....", alasan 'kedua'nya hilang, dipotong, padahal saya ingin sekali tahu, apa alasan 'kedua' yang dia maksud. Jadi, dalam hal seperti ini, mestinya reporter memandu narasumber di lapangan, kalau menjawab langsung (on camera atau on tape) sebaiknya DIRINGKAS sendiri. Ini jauh lebih baik, karena intinya dikendalikan oleh narasumber, daripada diedit editor di ruang edit -- mana tahu dia maksud yang paling penting dan kurang penting? Kalau di koran, ya di-rephrase oleh wartawan atau redaktur. Tidak ada yang haram dengan rephrasing.

Debat seperti ini sehat. Ia menunjukkan bahwa tetap ada jurnalis yang mempertimbangkan mutu jurnalisme: akurasi informasi, kejelasannya, dan akibat-akibat yang ditimbulkannya di dalam masyarakat. Karena ia bersifat tukar pikiran biasa, tidak ada kesimpulan dari debat ini. Ia berhenti begitu saja, dan pihak-pihak yang berdebat tampaknya bertahan dengan pendapatnya masing-masing.

Menurut pendapat masing-masing, begitulah agaknya wartawan dan media massa memperlakukan kutipan dalam laporan jurnalistik, hingga sekarang. Tidak ada standard atau kesepakatan tentang ini. Ada yang berpendapat bahwa kutipan langsung tidak boleh disunting, atau harus dipertahankan dalam bentuk seperti yang diucapkan narasumber. Pendapat ini agaknya didasari oleh prinsip mempertahankan akurasi seakurat mungkin. Namun ada pula yang berkeyakinan lain, kutipan langsung dapat saja disunting, kalau memang diperlukan.

Kutipan yang diperlihatkan Kasus 01 sampai Kasus 05 tadi mungkin dibuat oleh wartawan yang hendak mempertahankan keaslian kalimat, walau tidak tertutup kemungkinan penyajian seperti itu muncul akibat kurang baiknya penguasaan bahasa.

Jika tadi Hernani Sirikit menyebut istilah “tidak ada yang haram” untuk urusan seperti itu, dia sebetulnya benar. Hanya saja untuk itu tentu ada catatan, yakni selama perubahan yang dilakukan itu tidak mengubah makna kalimat dan -- sedapat mungkin-- maksud yang diinginkan narasumber.

Sayangnya, makna kalimat dan maksud yang diinginkan narasumber tidak pernah dinyatakan narasumber itu secara khusus. Ia harus ditangkap dan dipahami oleh reporter lewat kalimat itu sendiri, dan dengan memperhatikan narasumber berbicara. Ilustrasi berikut ini diharapkan dapat memberikan penjelasan.

A adalah pelatih kesebelasan X.
B adalah asistennya.
Kesebelasan X kalah pada suatu pertandingan. Menurut B, kekalahan itu
disebabkan oleh kelemahan C, salah seorang pemain belakang.
Ketika pertandingan berlangsung kepada A, B menyarankan agar C diganti, tapi
A mengabaikan saran itu.
B agak kecewa, dan sinis melihat keputusan sang pelatih.
Kepada wartawan (R), B bercerita dalam suatu wawancara.

R: Jadi, kekalahan ini antara lain disebabkan oleh kelemahan C?
B: Iya! You mungkin memperhatikan, ada tujuh kali dia kalah adu lari dengan
pemain lawan yang seharusnya dia jaga. Saya sudah menyarankan kepada A sejak akhir babak pertama agar C diganti. Tapi dia tidak mau mendengarkan saran
itu. Akhirnya, coba lihat! Hasilnya cuma kekalahan.
R: Apa alasan A untuk mempertahankan C?
B: Mana saya tahu?! (diucapkan dengan agak mencibir)

Kalimat “Akhirnya, coba lihat! Hasilnya cuma kekalahan” membawa makna
seperti yang diperlihatkan kata-kata di dalam kalimat itu. Pernyataan B
bermakna menyuruh si reporter melihat sendiri bahwa hasil dari keputusan A
hanyalah kekalahan. Tapi harap dipahami bahwa di balik kalimat itu ada
pemikiran yang menyesali keputusan A.

Kalimat “Mana saya tahu?!” dari B bermakna bahwa dia tidak memahami alasan A untuk mempertahankan C terus bermain. Karena bunyi kalimat itu sendiri, dan karena bahasa tubuh yang diperlihatkan oleh B pada saat mengucapkan kalimat itu (agak mencibir) terlihat maksud untuk menunjukkan kekecewaan dan sinisme.

Makna dan maksud itulah yang tidak boleh hilang, atau hanya sekadar berubah, manakala kutipan diperbaiki. Agar makna dan maksud kalimat tidak terganggu, serta pengutipan tidak membuahkan kesalahan, beberapa butir persoalan berikut ini perlulah diperhatikan.

… Perbaikan dapat saja dilakukan kalau di dalam kutipan ditemukan kesalahan tata bahasa, kerusakan logika bahasa, dan kejanggalan yang tidak dapat diterima rasa bahasa.

Perbaikan pun dapat dilakukan jika menghasilkan penghematan kata. Dalam melakukan itu semua, reporter maupun editor, hendaknya selalu membuat pertimbangan dan mengambil keputusan dengan teliti sehingga perbaikan itu tidak melahirkan perubahan makna.

… Jangan sekali-kali mengubah kata sifat yang menyatakan pendapat atau kesimpulan orang ataupun institusi yang dikutip. Perbaikan kutipan yang mengandung pendapat narasumber lebih baik ditulis dalam bentuk kutipan tidak langsung.

… Keaslian kalimat kutipan perlu dipertahankan dengan mempertimbangkan relevansinya. Originalitas kutipan menjadi relevan untuk dipertahankan jika dianggap dapat memberikan dukungan pada fakta yang lain di dalam laporan itu.

Contoh
Sepejam pun dia tidak tidur semalam. Pagi ini matanya merah. “Kalau gua
jalan, rasanya melayang,” katanya.

Kutipan yang diambil dari kata-kata tokoh ceritanya, dimaksudkan untuk memperkuat fakta bahwa sama sekali dia tidak tidur semalam.

Keaslian kutipan juga dipertahankan kalau ia dapat menjadi warna pada tulisan, misalnya menunjukkan identitas si narasumber (contohnya dialek daerah yang menunjukkan warna lokal), mengisyaratkan keadaan emosinya (cemas, gembira, kesal) pada saat berbicara, atau menunjukkan watak (rendah hati, sombong, pemalu) si narasumber tersebut.

… Perhatikan bahasa tubuh yang menyertai bahasa lisan, karena kedua-duanya membawa satu maksud. Apabila bahasa tubuh dihilangkan (padahal selayaknya ditulis) maksud yang ditangkap audience bisa jadi berbeda dengan yang asli. Tetapi jangan menginterpretasikan bahasa tubuh narasumber dengan kalimat sendiri. Kalau dia mengepalkan tinju, jangan disebut “geram”, tulis saja faktanya, “mengepalkan tinju”.

Pernyataan lisan dan bahasa tubuh: (X berkata, "Dia belum kenal gua rupanya!" Sembari mengucapkan kalimat itu X menepuk-nepuk dadanya).

Tulislah seperti ini;
“Dia belum kenal gua rupanya!” kata X sembari menepuk-nepuk dada.

Jangan ditulis seperti ini;
“Dia belum kenal gua rupanya!” kata X dalam nada emosional.

Juga jangan ditulis seperti ini;
Dengan agak geram X berkata, “Dia belum kenal gua rupanya!”

… Kutipan yang bersumber pada dokumen, hendaknya disertai dengan penjelasan (attribution) tentang sumber itu. Tetapi penyebutan sumber dokumen dapat diabaikan jika yang dikutip itu sudah menjadi pengetahuan umum.

Jika Anda lupa tahun berapa Adam Malik menjadi wakil presiden, Anda mungkin mencari buku atau dokumen lain untuk dijadikan sumber. Di situ Anda mendapatkan keterangan: 1978-1983. Keterangan ini dapat dikutip tanpa menyebutkan dari sumber apa ia berasal.

Penyebutan sumber dokumen juga dapat diabaikan apabila diyakini bahwa isi kutipan itu tidak akan menimbulkan kontroversi, walaupun sebetulnya tidak banyak orang yang tahu isi kutipan itu.

Apabila hendak mengetahui luas Pulau Bali, Anda tentu akan mencari dokumen atau masuk ke suatu situs lewat internet, dan mendapatkan angka yang menunjukkan luas Pulau Bali. Apabila angka itu Anda kutip, penyebutan sumber dapat diabaikan.

Tetapi, manakala ada dua sumber tertulis -- sebetulnya demikian pula untuk sumber lisan-- yang menyebut fakta secara berbeda, dan Anda harus mengutip sumber itu, berhati-hatilah.

Pertimbangkanlah kredibilitas sumber-sumber itu. Yang paling dapat dipercaya, boleh dipakai, dan sebutkan nama sumber itu. Jika Anda ragu mana di antara dua sumber itu yang mendekati kebenaran, sebutlah kedua-duanya, dan tunjukkan perbedaan fakta yang ditemukan.

… Penyebutan sumber menjadi keharusan, jika bersifat eksklusif.

… Keaslian harus dipertahankan untuk kutipan yang bersumber dari dokumen berupa ketentuan peraturan atau undang-undang. Tetapi, isi dokumen seperti news release masih mungkin diperbaiki, selama tidak mengubah arti kalimat semula.

… Bentuk asli isi dokumen yang bernilai historis juga harus dipertahankan.

… Pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh untuk menerima permintaan not for attribution dari narasumber. Apabila pelanggaran permintaan not for attribution itu diperkirakan akan membahayakan keselamatan narasumber, janganlah sekali-kali melanggar permintaan itu. Pelanggaran permintaan not for attribution walau diyakini tidak akan membahayakan keselamatan narasumber tetap merupakan pelanggaran etika. Oleh karena itu, sebaiknya reporter membicarakan untung-rugi (bagi narasumber dan bagi media) pemuatan kutipan tanpa attribution itu dengan narasumber.

… Gunakan ukuran etika dan hukum dalam mempertimbangkan kelayakan suatu
pernyataan yang hendak dikutip, misalnya untuk kata-kata kasar: mencerca,
bersifat cabul.

Teknis Penulisan

Di luar bentuk penyajian kutipan yang diperlihatkan contoh tadi, ada berbagai-bagai bentuk yang terlihat dalam praktek. Ada penyajian yang dibuat dengan berhati-hati. Kalimat asli narasumber dipertahankan oleh si pelapor, tetapi dengan menyertakan penjelasan dia sendiri di dalam tanda kurung pada kutipan tersebut, seperti contoh berikut ini.

"Persoalan ini sudah berawal hampir dua tahun lalu. Sekitar dua bulan lalu, dalam rapat banjar, mereka (pemilik dari rumah yang dirusak warga) menyatakan keluar dari Banjar Batuparas dan mengaku telah diterima masuk ke Banjar Robokan. Namun, kenyataannya mereka masih tinggal di wilayah Banjar Batuparas. Warga Banjar Batuparas tidak terima," kata Loteng ketika ditemui Sabtu kemarin. (Kompas, 13 Maret 2005)

Bentuk lain yang tampaknya dibuat dengan lebih berhati-hati lagi adalah dengan menyajikan kutipan disertai penjelasan dari redaksi dan menyatakan bahwa catatan itu dari redaksi, seperti contoh berikut ini.

"Kita menunggu jawaban dari dia (Jaksa Agung -- Red),” katanya.

Walau begitu, juga ada kutipan langsung maupun tidak langsung yang disajikan tanpa keberhati-hatian. Contohnya, berikut ini.

Menurut SPR, apa yang dinyatakan oleh Todung Mulya Lubis dan rekannya itu jelas merupakan kebohongan publik yang sangat menyesatkan. Sebab, fakta yang terjadi setelah kenaikan harga BBM adalah kebalikannya. (Media Indonesia, 14 Maret 2005)

Kalimat pertama adalah kutipan tidak langsung dari penjelasan yang diberikan Serikat Pengacara Rakyat (SPR). Kalimat kedua, bukanlah kalimat kutipan. Kalimat kedua itu adalah paraphrase, kalimat si penulis sendiri untuk menceritakan kenyataan yang dia ketahui, padahal kalimat kedua ini – dapat diduga -- juga berasal dari SPR dan merupakan alasan untuk pendapat SPR yang terbaca di dalam kalimat pertama.

Dalam hal ini, pembaca “diharap maklum” bahwa pernyataan pada kalimat kedua bukanlah kalimat si wartawan. Oleh karena itu pembaca juga diharap maklum bahwa pendapat yang ada di dalam kalimat kedua itu bukan pendapat si pelapor. Agaknya, menurut pendapat para wartawan yang suka memakai cara pengutipan seperti ini, karena sudah didahului oleh kutipan, kalimat berikutnya diharapkan juga dipahami sebagai kelanjutan dari kutipan itu.

Penulisan seperti ini dilakukan oleh banyak wartawan, dan ditemukan dalam banyak laporan jurnalistik berbagai media. Ia mungkin dipakai untuk menghindari munculnya begitu banyak attribution dalam satu artikel yang sering membuat laporan itu tidak enak dibaca. Hanya saja cara seperti itu sebetulnya berisiko. Risiko itu adalah, timbulnya kesan bahwa si pelapor memasukkan opininya ke dalam laporan yang dia tulis (jika kalimat tersebut mengandung opini), sesuatu yang sebetulnya terlarang dalam penulisan berita.

Risiko lain adalah, jika pendapat yang tersaji di dalam kalimat berbentuk paraphrase itu mengundang polemik atau bahkan perkara, narasumber yang mengucapkan pernyataan itu mempunyai bukti kuat bahwa menurut berita yang disajikan itu kalimat tersebut tidak berasal dari dia.

Demi akurasi, sebaiknya kutipan tersebut disajikan seperti berikut ini.

Menurut SPR, apa yang dinyatakan oleh Todung Mulya Lubis dan rekannya itu jelas merupakan kebohongan publik yang sangat menyesatkan. Fakta yang terjadi setelah kenaikan harga BBM, demikian SPR, adalah kebalikannya.

Cara lain yang sebetulnya juga kurang teliti adalah melepaskan attribution dari kutipan langsung, dan memberikan penjelasan di dalam kalimat yang lain,
seperti contoh berikut ini.

Yang jelas tak seorang pun akan menampik kebenaran kata-kata Perdana Menteri Swedia Goran Persson ini. “Tak pernah langkah memasuki tahun baru seberat sekarang.” (TEMPO, edisi 10-16 Januari 2005, halaman 43).

Demikian pula dengan contoh ini.

Apa sudah menulis puisi mengenai bencana Aceh? “Mungkin belum, karena beliau belum saya lihat sibuk dengan diarinya.” Ini jawaban sekretarisnya, Rina Sabrina. (TEMPO, edisi 10-16 Januari 2005, halaman 113).

Sebetulnya kutipan ini akan lebih baik jika ditulis;

Yang jelas tak seorang pun akan menampik kebenaran kata-kata Perdana Menteri Swedia Goran Persson ini: “Tak pernah langkah memasuki tahun baru seberat sekarang.”

dan;

Apa sudah menulis puisi mengenai bencana Aceh? “Mungkin belum, karena beliau belum saya lihat sibuk dengan diarinya,” begitu jawab sekretarisnya, Rina Sabrina.

Juga ada cara penulisan kutipan yang tidak teliti yang dibuat media. Ia juga melepaskan attribution dari kutipan langsung. Kutipan tersebut tersaji dengan diapit tanda petik (bentuk seperti ini juga dibiasakan suratkabar asing). Seperti contoh sebelumnya, agaknya pembaca juga diharap maklum, bahwa kutipan tersebut berasal dari narasumber yang pernyataannya sudah dikutip sebelumnya, seperti berikut ini.

... selalu mengembara dari satu musim bunga ke musim bunga yang lain. “Yang
paling bagus bunga randu,” kata Herman, 59 tahun, eksportir asal Yogyakarta.
“Protein tepung sarinya sangat tinggi.” (TEMPO, edisi 10-16 Januari 2005,
halaman 100)

Sebetulnya hampir tidak pernah timbul masalah dari bentuk kutipan semacam ini. Akan tetapi, akan lebih aman jika ia disajikan sebagai berikut.

... selalu mengembara dari satu musim bunga ke musim bunga yang lain. “Yang paling bagus bunga randu,” kata Herman, 59 tahun, eksportir asal Yogyakarta, “protein tepung sarinya sangat tinggi.”

atau;

... selalu mengembara dari satu musim bunga ke musim bunga yang lain. “Yang
paling bagus bunga randu, protein tepung sarinya sangat tinggi,” kata Herman, 59 tahun, eksportir asal Yogyakarta.

Dasar Pertimbangan dalam Bekerja

Jurnalis bekerja merekonstruksi fakta, dengan memakai bahasa, lewat cerita. Bahasa mengenal apa yang disebut sebagai makna. Kita mengenal apa yang disebut sebagai interpretasi, yang tidak semata-mata terbentuk lewat makna. Kita pun mengenal apa yang disebut sebagai kebenaran, dan juga fakta. Bagi jurnalis, kutipan dikategorikan sebagai fakta. Narasumber X berkata, “Kami sedang mempelajari kemungkinan ekspor ke Timur Tengah.” Adalah fakta, bahwa X menyatakan, dia dan orang-orang di perusahaannya sedang mempelajari kemungkinan ekspor ke Timur Tengah.

Narasumber X berkata, “Daya beli konsumen dalam negeri masih rendah.” Adalah fakta bahwa X membuat dan menyatakan penilaian tentang daya beli konsumen dalam negeri yang menurut dia masih rendah. Apakah pendapat si X sesuai dengan fakta di lapangan? Betulkah daya beli konsumen di dalam negeri rendah? Itu persoalan lain. Fakta menunjukkan bahwa si X berpendapat demikian, atau bahwa X berpendapat seperti itu, bagi jurnalis dianggap fakta.

Kutipan, baik dalam bentuk tipografi ataupun yang bersifat fonetik, adalah alat yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berbentuk seperti itu, entah ia diucapkan, entah ia dinukilkan berupa simbol tertulis. Ini adalah pekerjaan yang sifatnya rekonstruktif, dan rekonstruksi tidak pernah menghasilkan sesuatu yang sama seperti aslinya.

Cukup luas untuk “diberi pagar” buat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam merekonstruksi segenap kenyataan yang ditemukan, dan cukup samar-samar untuk disajikan dalam bentuk yang nyata seperti apa ia sebenarnya.

Apakah persoalan ini begitu pelik? Sama sekali tidak, jika ada kemauan untuk membuatnya tidak rumit. Objektivitas yang sesungguhnya tidak pernah dicapai. Wartawan tidak mungkin menyajikan kebenaran mutlak.

Kenyataan itulah yang menghendaki bahwa wartawan haruslah orang yang jujur. Karena itulah, wartawan haruslah orang yang dapat berpikir logis sehingga dapat berbahasa dengan logis. Karena itulah, wartawan haruslah orang yang teliti. Karena itulah, wartawan haruslah orang yang berpengetahuan (umum) baik, agar dia dapat memahami penjelasan yang diberikan narasumber dan mengerti konteks persoalan. Karena itulah, wartawan harus rajin membaca.

Sama sekali tidaklah berarti bahwa wartawan harus menjadi “superman”. Ini hanya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa merekonstruksi fakta yang hendak disampaikan kepada publik harus dilakukan dengan modal yang cukup, moral, pengetahuan, kemampuan memahami segala sesuatunya dengan baik, dan kemampuan ekspresi yang jernih. Kebenaran mutlak hanya dapat didekati, dan untuk mendekatinya --dalam menyajikan informasi berupa kutipan bagi khalayak-- hanya ada satu jalan: hindari kekeliruan makna, dan kurangi bias. ***

Thursday, May 26, 2005

The Ten and a Half Commandmants of Writing

By Alex Keegan **)

Recently The IWJ received an email in which I was asked to provide some advice for the younger writers. The answer isn't easy. No teenager wants to be told, grow up, get experience, broaden and deepen that life-knowledge. They're already grown!

But a few years ago I was writer of the month in Compuserve's WRITERS FORUM and it was great fun, full of energetic questioning, mostly from relative beginners, and interesting craft-chat. At the end of the month I needed to write something to say goodbye and had the chance to do so without any heckling! This article, apart from some minor edits, is the advice I offered then and I offer it now to the younger author and to any writer, of any age, experienced or otherwise. Three years on, even though I'm denied access to Writers, I think my views are pretty much the same.

DON'T WRITE ABOUT THINGS THAT INTEREST YOU, WRITE ABOUT THINGS THAT ENERGISE YOU

In fact, write about, or around, or obliquely close to, those tensions which you find yourself attracted to at a dinner party -- what is likely to engage you, make you fervent, angry, aroused. For me, these are sexuality, sociobiology, psychology, simplistic black and white politics, love, sex and hypocrisy, feminism, big brother, and death. I write (apparently) crime books but the DRIVES are the above.

WRITE STORIES THAT HAVE A POINT

Too often we hear a beginner say "I'm going to write a romance," (or a crime story, or some Science Fiction). What's wrong here is that the speaker is just "trying to be a writer" as opposed to desperately needing to express his/her beliefs through writing, through story.

If, when we have an idea, perhaps a plot idea to begin with, we think about what does this mean, what's the point, what would be the point, of a reader reading me? we have a much better chance of success. Know that if someone says SFW? So friggin' what? to your story, you have a good, real answer.

I could not write pure entertainment books like, say, Dick Francis, I think they are far too difficult because they are pure entertainment, they are not energised by a fundamental direction, a truth, a passion. I need that passion, that conviction. I have to be saying something, trying to persuade the reader around to my ideas, getting him or her to understand, as they say, where I'm coming from. That's why, for me, the characters matter, and the plot (almost) follows. We care, we should care, about people. Give me real people who interest me in an OK plot, rather than cardboard executives or robots ping-ponging through a labyrinth, however ingenious.

SHOW NOT TELL. SEDUCTION NOT INSTRUCTION

The great art of the twentieth century is film. It is certainly true that a very good film haunts us, its images, dialogue, sensations returning to us long after we have left the cinema. And in films, the screenplay is almost completely shown, not explained, and not just through semantics, the facts, the actions, but through its colours, tones, angles, pauses, music.

The undercurrents, the explanations, the hidden motives, the themes, the point of things, when they are implicit you have power, when they are explicit you have just another entertainment, just another film, another book.

I'm aware that the adage show-not-tell is clichéd now. That doesn't make it any less true. I prefer to use the rule of thumb "Seduction not Instruction" and in June and July some of my feelings on the subject were published in The IWJ.

Perhaps, a seasoned writer may wish to tell instead of show, but great writers have managed great books by allowing the reader to see and hear without authorial intruding. I believe absolutely that in our first few years of writing we should make S-N-T our absolute goal, not as a final, unbreakable rule but to learn technique, how to show obliquely, life: the cheating, double-dealing, fear, anxiety, adultery, sexuality, hope, bewilderment, love, hate, dreams, apathy...

RUTHLESSLY REMOVE EVERY PIECE OF EXPLANATION

After writing a section, go through and take out every piece of explanation and replace with action and dialogue where the explanation is revealed naturally, implicitly, treating the reader as an intelligent, interactive part of the writer-reader process. And don't be afraid to be oblique, to be subtle. If a man says he loves you, he might, but sometimes, without words, you know.

Although this is an extension of Show not Tell, I make it a rule because beginning writers are lazy, they show first (well done!) and then explain.

If we make a rule which analyses every word, every sentence, every paragraph and says, "is this simply something happening and the reader is observing, feeling, inferring, or is the author intruding, to explain?" then we have a good rule. One day, super-slick, we may consciously decide to intrude, but when we're learning, we should perfect the skill of showing.

FORGET PLOT, LET CHARACTERS DO IT FOR YOU

I have heard authors saying that if a character "takes over" the writer is not a writer, he has no discipline, no control. This is absolute rubbish. Unless God, the muse, really does invent for us - (he doesn't) - these improbabilities, these characters refusing to do what we ask, these realities, these diamonds - grab them! - they come from deeper in us, not necessarily the subconscious.

When our characters start to behave badly, it means that they have become "real people" to us, people who won't bend just to fit the machinations of plot. They may be manifestations of the psyche, but they have been endowed with more power than real, actual, flesh and blood. My philosophy is roughly as follows. "Here is my person (real, now that I have created her), this happens/has happened, (artificial, authorial, a plot device, a placed "fact"), now I wonder what s/he will do?" I watch and record.

I suspect that a "misbehaving character" is actually the author's higher, hidden self telling the materialistic, prejudiced, conforming parts to step aside and let the real writer out.

The initial ambition may come from the left-brain and the discipline to get up and work may come from there, but at some time the good ol' right brain, where love and art and passion fight against Hollywood, Disney and the bookstore chains, has to come out. It's there that the magic lies, the hidden selves, the psyche, the soul, the real insider, not the pathetic front, however apparently successful that is.

THINK ABOUT LANGUAGE, STYLE, FLOW AND LYRICISM

Can you read your stuff out loud? How does it sound? Could you add, take away a few words, maintain the meaning but give us something which flows into us, something rich and audible, something with music and soul, something seductive in its own right?

Think about how you say things: with soft whispers, or with sharp hack-attack words and phrases. With an even cadence and repetitive, or with highs and lows, longs and shorts, soft moments and hard, colours opposite greyness. If you need to slow things down, do the words do it with you, are they helping you to convey that slowing, or are you having to tell the reader things are slowing?

Language can please without us having to emulate Dylan Thomas or Annie Proulx. Consider it, at least, at least make sure that when you want "sad" no one hears the Birdy Song.

WORK THROUGH DIALOGUE LINE BY LINE

You must work through your dialogue line by line to make it bite, be different, and have a distinct sound. 95% of published dialogue is terrible! Authors get away with it because people, readers, reviewers and editors, let them, because the story, or plot is interesting and we "don't mind" the ordinary words, the predictable. But give me words which have energy, poetry, amusement, oddness, tension, excitement, buzz!

Look at some on-screen dialogue (look at Pulp Fiction). Ignore 90% of the films out there which are simply trash, but look at the art, the real gems out there. We remember pictures and sounds -- we don't remember explanations. We remember examples not statistics. We remember people and what they say to us.

Take any dialogue from your book and ask of every line, "Is it great; would I want to listen? Would I be intrigued, love the voice, the accent, the person? Would I be outraged, would I be incensed, would I be sexually aroused? Would I want to join in this conversation or would I find the delivery (whatever the content) not to my liking?"

WRITE 50 SHORT STORIES BEFORE YOU EMBARK ON A NOVEL

This is to discover your voices and burn-out the excesses of autobiography. This is my first piece of advice, along with write every day and twice as much on Sunday.

Get used to writing finished pieces, play with styles, subjects, play with first and third person, with restricted views and omniscience. Find yourself. Are you a full-back, a midfielder, a fast-running winger or a goal scorer? Sure, you want to play, but exactly how -- what's your best position?

Also, fifty or so short stories gets the plain vanilla out of the way, the less special, the stuff haunted by your own roots, your problems, zits, first love, first infidelities, and ambitions dashed. When these have been worked out of your system, you'll be less likely to foist the bog-ordinary on the world, the clichés, the stereotypes, the boring, and you'll be more likely to have acquired true perspectives. You will have produced three or four anthologies, produced fifty kernels, maybe fifty saleable plots for movies. You will also have produced, in small semi-painful doses, about 100,000 words so you know you can do it. That knowledge is extremely useful.

TRY TO TELL STORIES & ILLUMINATE. DON'T "TRY TO BE A WRITER."

Don't be scared to say "A tall man came into the room," if it's right. Simplicity can be more telling than grandiose language. Be aware that you are probably pretentious, that you want people to think you're bright, erudite, and more worthy. Avoid trying to prove it. Instead, tell your stories simply, stories that people will love, and maybe then they'll love you.

READ, READ, READ, READ, READ

Never stop reading. Look at the pompous, the Booker winners, the National Book Awards, Pulitzers, Nobel Prize winners, and look at the bestsellers, look at the greats and classics, and don't be afraid to read junk. But, if, after a serious try you don't like some authors, don't feel obliged to go with the flow. Be the little boy who said, "Hey, the Emperor is naked!"

What do you return to, what do you like? What makes you feel good, sensual, almost sexually pleased when you read it? What's the genre, the style, the kind of language, that makes you say, I'd like to meet this writer, s/he understands me? This is your world, your niche. First off, (you may change), why not write the books you most like to read, the books you wish there were more of?

IF YOU THINK IT, WRITE IT. NEVER HOLD BACK

And finally, the last half of a commandmant: let it out. If it's porn, if it's evil, if it's crazy and downright dangerous, still you thought it. Others might be waiting for a writer to have the courage or audacity to say it. Don't write with a censor on your shoulder. If you imagine incest and it should be there, put it in the story. If the work requires four-letter words, put them in. IF. If you hate a minority (or love them) admit it. Let out the angst, the hidden secrets, the dark depths, the dreaming heights, all the things you want to say but never had the nerve. Just do it, write it, find where your real energies are, your real beliefs. What you will release, what you will publish, who knows? But you write, first of all, for yourself. Don't lie, don't cheat, don't be a hypocrite. All the best stuff was once damned.


**British Crime and Literary Fiction Author Alex Keegan is the creator of the five Caz Flood novels: Cuckoo (Headline Books, St. Martin's Press), Vulture, Kingfisher, Razorbill (Headline Books) and A Wild Justice (Piatkus Books) which all feature feisty female private investigator Catherine "Caz" Flood.

Cuckoo was published in the U.S. by St Martin’s Press in 1995, and was nominated for an Anthony Award as best first novel. His prize-winning short stories have been featured in numerous publications including Mystery and Manners, BBC Radio 4, Blue Moon Review, Southern Ocean Review, and The Atlantic. He is a Contributing Editor for The Internet Writing Journal.

How to Write for the Web

Studies of how users read on the Web found that they do not actually read: instead, they scan the text. A study of five different writing styles found that a sample Web site scored 58% higher in measured usability when it was written concisely, 47% higher when the text was scannable, and 27% higher when it was written in an objective style instead of the promotional style used in the control condition and many current Web pages. Combining these three changes into a single site that was concise, scannable, and objective at the same time resulted in 124% higher measured usability.

Keywords: WWW, World Wide Web, writing, reading, page design.

Unfortunately, this paper is written in a print writing style and is somewhat too academic in style. We know this is bad, but the paper was written as the traditional way of reporting on a research study. We have a short summary that is more suited for online reading.

  • Full story
  • Thursday, May 19, 2005

    Kolom: Esai dengan Gaya

    Dalam dunia sastra, esai dimasukkan dalam kategori non-fiksi, untuk membedakannya dengan puisi, cerpen, novel dan drama yang dikategorikan sebagai fiksi.

    Membuka halaman-halaman koran atau majalah, kita akan menemukan banyak esai atau opini. Tulisan-tulisan itu punya karakteristik sebagai berikut:

    OPINI: mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.

    SUBYEKTIFITAS: memiliki lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang “obyektif”.

    PERSUASIF: memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan “apa adanya”. Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan penulis.

    Meskipun banyak, sayang sekali, tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai media, rubrik opini dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada beberapa alasan:

    SERIUS dan PANJANG: orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan seperti itu takkan dibaca orang banyak.

    KERING: banyak tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak “berjiwa”, karena penulis lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat dingin: obyektif, berjarak, anti-humor dan tanpa bumbu.

    MENGGURUI: banyak tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya penulis adalah dewa yang paling tahu.

    SEMPIT: tema spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya, seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas untuk menikmatinya.

    KOLOM: “ESSAY WITH STYLE”

    Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir “semua orang”. Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.

    Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas. Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang penulis dituntut memiliki kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.

    Mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan serius, panjang dan melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi. Dari situlah kenapa belakangan ini muncul “genre” baru dalam esai, yakni “creative non-fiction”, atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.

    Dalam “creative non-fiction”, penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak obyektif, “creative non-fiction” juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak, esai seperti itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya (“style”) serta personalitas si penulis.

    Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di koran atau majalah adalah pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu halaman majalah, atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap (sekali baca tanpa interupsi).

    PENULISAN KOLOM INDONESIA

    “Creative non-fiction” bukan “genre” yang sama sekali baru sebenarnya. Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis esai/kolom yang handal, mereka yang sukses mengembangkan “style” dan personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer serta “stylist”.

    Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar, dan Emha Ainun Nadjib.

    Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga disebut beberapa penulis esai/kolom lain yang menonjol pada era itu: Faisal Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajemen-bisnis), Sanento Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaluddin Rakhmat (media dan agama).

    Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis esai-esai yang menarik itu adalah juga sastrawan—penyair dan cerpenis/novelis. Dalam “creative non-fiction” batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung kabur. Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis cerpen di koran.

    Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian kehilangan penulis seperti itu. Kecuali Goenawan (“Catatan Pinggir”), Bondan (“Asal-Usul” di Kompas) dan Kayam (Sketsa di Harian “Kedaulatan Rakyat”), para penulis di era 1980-an sudah berhenti menulis (Mahbub, Romo Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum).

    Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan banyak penulis esai baru—namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik), Imam Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik) untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak tulisan mereka umumnya “terlalu serius” dan kering. Eep barangkali adalah salah satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.

    Sementara itu, kita juga melihat kian jarang para sastrawan muda sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro Adjidarma adalah pengecualian.

    Padahal, sekali lagi, mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan serius (panjang dan melelahkan), tantangan kreatifitas para penulis esai lebih besar lagi.

    TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM

    Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (“A Brief History of Time”), observasi antropologis Oscar Lewis (“Children of Sanchez”) dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun (“Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”) bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno (“Kiat”) dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas (“Beranda Kita”) bisa dinikmati seperti cerpen?

    Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu mentrandensikan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai mereka.

    Untuk mencapai keterampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:

    Keingintahuan dan Ketekunan:

    Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka harus terlebih dulu “memelihara” keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca referensidi perpustakaan, mengamati di lapangan bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?

    Kesediaan untuk berbagi:

    Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.

    Kepekaan dan Keterlibatan:

    Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?

    Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia bukan seorang pendaki gunung yang akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di Gunung Semeru).

    Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.

    Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.

    Kekayaan Bahan (resourcefulness):

    Meski meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan melihat apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs internet mana.

    Kemampuan Sang Pendongeng (storyteller):

    Cara berkhotbah yang baik adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.

    APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?

    Kebanyakan penulis pemula mengira hanya tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi memiliki gengsi.

    Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa ditulis dalam bentuk esai yang populer dan diminati pembaca. “Beranda Kita”-nya Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan untuk khalayak pembaca awam sekalipun.

    Ada banyak penulis yang cenderung bersifat generalis, mereka menulis apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan masyarakat sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.

    Politik lokal (bersama maraknya otonomi daerah)
    Bisnis (industri, manajemen dan pemasaran)
    Keuangan (perbankan, asuransi, pajak, bursa saham, personal finance)
    Teknologi Informasi (internet, komputer, e-commerce)
    Media dan Telekomunikasi
    Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD, pentas)
    Kimia dan Fisika Terapan
    Elektronika
    Otomotif
    Perilaku dan gaya hidup
    Keluarga (parenting)
    Psikologi dan kesehatan
    Arsitektur, interior, gardening
    Pertanian dan lingkungan

    Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan gunakan kacamata kuda.

    TEKNIK PENULISAN KOLOM

    Mencari ide tulisan
    Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan sebenarnya “sudah ada di situ” tanpa kita perlu mencarinya.

    Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu tidak terlampau basi).

    Merumuskan masalah
    Esai yang baik umumnya ringkas (“Less is more” kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.

    Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.

    Mengumpulkan bahan
    Jika kita rajin menulis catatan harian, sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan, wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.

    Menentukan bentuk penuturan
    Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema yang ditulisnya:

    Dialog (Umar Kayam)
    Reflektif (Goenawan Mohamad)
    Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno, Ahmad Tohari)
    Humor/Satir (Mahbub Junaedi)

    Menulis

    Tata Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).

    Akurasi Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya, bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan angka-angka secara benar?

    Jargon dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.

    Sunting dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. “Tidak” sering bisa diringkas menjadi “tak”, “meskipun” menjadi “meski” dan sebagainya.

    Pakai kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.

    Tak menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap menggurui. Jika mungkin hindari kata “seharusnya”, “semestinya” dan sejenisnya. Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don’t tell it, show it.

    Tampilkan anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih “basah” dan berjiwa.

    Jangan arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di “luar sana”.

    Uji Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan ke media.

    “MENJUAL” KOLOM KE MEDIA

    Apa yang umumnya dipertimbangkan oleh redaktur esai/opini untuk memuat tulisan Anda?

    Nama penulis: para redaktur tak mau ambil pusing, mereka umumnya akan cepat memilih penulis yang sudah punya namaketimbang penulis baru. Jika Anda penulis baru, ini merupakan tantangan terbesar. Tapi, bukankah tak pernah ada penulis yang “punya nama” tanpa pernah menjadi penulis pemula? Jangan segan mencoba dan mencoba jika tulisan ditolak. Tidak ada pula penulis yang langsung berada di puncak; mereka melewati tangga yang panjang dan terjal. Anda bisa melakukannya dengan menulis di media mahasiswa, lalu menguji keberanian di koran lokal sebelum menulis untuk koran seperti Kompas atau majalah Tempo.

    Otoritas: redaktur umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari penulis yang bisa menunjukkan bahwa dia menguasai masalah. Tidak selalu ini berarti sang penulis adalah master atau doktor dalam bidang tersebut.

    Style dan Personalitas: tema tulisan barangkali biasa saja, tapi jika Anda menuliskannya dengan gaya “style” yang orisinal dan istimewa serta sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang redaktur akan memuatnya.

    Populer: koran dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema tulisan harus cukup populer bagi pembaca awam, tanpa kehilangan kedalaman. Bahkan seorang doktor dalam antropologi adalah pembaca awam dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak bodoh dibaca oleh orang yang paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi yang tidak banyak mendalaminya. (farid gaban)

    BAHAN BACAAN LANJUTAN

    Teknik Penulisan:
    Argumentasi dan Narasi (Gorys Keraf)
    Yuk, Menulis Cerpen, yuk (Mohammad Diponegoro)

    Catatan Harian dan Korespondensi:
    Catatan Harian Soe Hok Gie
    Surat-surat Iwan Simatupang
    Catatan Harian Ahmad Wahib

    Kumpulan Esai:
    Catatan Pinggir dan Kata, Waktu (Goenawan Mohamad)
    Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih tanpa Banda (Umar Kayam)
    Faisal Baraas (Beranda Kita)
    Puntung-Puntung Roro Mendut (YB Mangunwijaya)

    Kumpulan Cerpen:
    Orang-orang Bloomington (Budidarma)
    Lukisan Perkawinan (Hamsad Rangkuti)
    Odah (Mohamad Diponegoro)
    Leak (Faisal Baraas)
    Tegak Lurus Dengan Langit (Iwan Simatupang)
    Bromocorah (Mochtar Lubis)

    SELESAI

    * Farid Gaban (fgaban@yahoo.com) kini Redaktur Pelaksana Majalah Tempo. Dua bukunya yang pernah diterbitkan Mizan, Bandung: “Dor! Sarajevo” (reportase Perang Bosnia) dan “Belajar Tidak Bicara” (kumpulan esai di Harian Republika).

    Saturday, May 14, 2005

    Bahasa Jurnalistik Indonesia


    Goenawan Mohamad

    Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien.

    Dengan efisien saya maksudkan lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor. Di bawah ini diutarakan beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha kita ke arah efisien penulisan.


    H E M A T

    Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan : yaitu unsur kata, dan unsur kalimat.

    Unsur kata :
    1. Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya:
    - agar supaya ................. agar, supaya
    - akan tetapi ................. tapi
    - apabila ................. bila
    - sehingga ................. hingga
    - meskipun ................. meski
    - walaupun ................. walau
    - tidak ................. tak (kecuali diujung kalimat
    atau berdiri sendiri).

    2. Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari. Misalnya: "Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang", menjadi "Keadaan lebih baik sebelum perang". Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ''Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang".

    3. Ejaan yang salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya:
    - sjah ......... sah
    - khawatir ......... kuatir
    - akhli ......... ahli
    - tammat ......... tamat
    - progressive ......... progresif
    - effektif ......... efektif

    Catatan : Kesulitan pokok kita di waktu yang lalu ialah belum adanya ejaan standard bahasa Indonesia. Kita masih bingung, dan berdebat, tentang: roch atau roh? zaman atau jaman? Textil atau tekstil? Kesusasteraan atau kesusastraan? Tehnik atau teknik? Dirumah atau di rumah? Mudah-mudahan dengan diputuskannya suatu peraturan ejaan standard, kita tak akan terus bersimpang-siur seperti selama ini. Ejaan merupakan unsur dasar bahasa tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam pertumbuhan bahasa, misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari bahasa lain dan sebagainya.

    4. Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
    - kemudian = lalu
    - makin = kian
    - terkejut = kaget
    - sangat = amat
    - demikian = begitu
    - sekarang = kini

    Catatan : Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.

    Unsur Kalimat
    Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.

    1. Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
    - "Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman''. (Bisa disingkat: ''Merupakan kenyataan, bahwa ................'').
    - "Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas". (Bisa disingkat: "Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........").

    2. Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
    - "Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar negeri"? (Bisa disingkat: ''Akan terus tergantungkah Indonesia.....'').
    - Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak''. (Bisa disingkat: ''Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak'').

    3. Pemakaian dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; Juga daripada.
    - "Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan''. (Bisa disingkat: ''Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan''.
    - ''Sintaksis adalah bagian daripada Tatabahasa''. (Bisa disingkat: ''Sintaksis adalah bagian Tatabahasa'').

    4. Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
    - "Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India". (Bisa disingkat: "Uni Soviet cenderung mengakui............").
    - "Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami". (Bisa disingkat: "Pendirian semacam itu mudah dipahami").
    - "GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal". (Bisa disingkat: "GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......").

    Catatan : Dalam kalimat: ''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi kejelasan dipertahankan.

    5. Pemakaian adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
    - ''Kera adalah binatang pemamah biak''. (Bisa disingkat ''Kera binatang pemamah biak'').
    Catatan : Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita''.

    6. Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu :
    - "Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good year". (Bisa disingkat: ''Presiden besok meninjau pabrik.........'').
    - "Tadi telah dikatakan ........'' (Bisa disingkat: "Tadi dikatakan.'').
    - "Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri". (Bisa disingkat: "Kini Clay mempersiapkan diri").

    7. Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
    - "Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti").
    - "Tidak diragukan lagi bahwa ialah orangnya yang tepat". (Bisa disingkat: "Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat").

    Catatan : Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.

    8. Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu:
    - "Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia''. (Bisa disingkat: ''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia'').
    - "Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia''.

    9. Pembentukan kata benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
    - "Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami kebobolan". (Bisa dirumuskan: ''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol").
    - "PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta". (Bisa dirumuskan: ''PN Sandang rugi Rp 3 juta").
    - ''Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya'' (Bisa disingkat: ''Ia telah tiga kali menipu saya").
    - Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai''. (Bisa dirumuskan: ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai'').

    10. Penggunaan kata sebagai dalam konteks "dikutip sebagai mengatakan" yang belakangan ini sering muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia. Memang, dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted as saying'') tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita. Kalimat ''Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''.

    Bukankah masih terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?

    Lagipula, seperti sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan ekses. Contoh: Ali Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai berkata: "Itu akan dilakukan dalam tiga tahap" Harian Kami, 7 Desember 1971, halaman 1). Kata sebagai dalam berita itu samasekali tak tepat, selain boros.

    11. Penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.

    Dr. C. A. Mees, dalam Tatabahasa Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang "tidak meniru jalan bahasa Belanda", dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: "orang tempat dia berutang" (bukan: pada siapa ia berutang); "orang kawannya berjanji tadi" (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi). Bagaimana kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?

    Misalnya: ''Rumah dimana saya diam'', yang berasal dari "The house where I live in", dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: "Rumah yang saya diami". Misal lain: "Negeri dimana ia dibesarkan", dalam bahasa Indonesia semula berbunyi: "Negeri tempat ia dibesarkan".

    Dari kedua misal itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan kalimat bahasa Indonesia.

    Sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh ekses penggunaan dimana dari 3 koran:

    Kompas, 4 Desember 1971, halaman I:
    "Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di Vietnam".

    Sinar Harapan, 24 November 1971, halaman III:
    "Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana korupsi, dimana ke-9 buah perkara tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya masih dalam pengusutan.''

    Abadi, 6 Desember 1971, halaman II:
    "Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana secara tidak langsung telah dapat mempengaruhi usaha-usaha pemerintah di dalam menjaga kestabilan, baik untuk perluasan produksi ekonomi dan peningkatan ekspor".

    Dalam ketiga contoh kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat, melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain. Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:

    "Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di Vietnam''.

    "Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi. Ke-9 perkata tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya) masih dalam pengusutan''.

    Perhatikan :
    1. Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.
    2. "Dewasa ini sedang" cukup jelas dengan "dewasa ini".
    3. Kata "9 buah" bisa dihilangkan "buah"-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.

    "Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini (atau lebih singkat: Ini) secara tidak langsung telah dapat .......... dst".
    Perhatikan: Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.

    12. Dalam beberapa kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
    - "Bukan kebetulan jika Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang, proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat secara implisit sudah jelas).
    - "Pelatih PSSI Witarsa mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain" (Kata kemudian diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara implisit cukup jelas).

    Tak perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau atau meski yang mengesankan ada yang mengesankan adanya perlawanan tak bisa ditiadakan.


    J E L A S

    Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
    1. Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
    2. Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.

    Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang.

    Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia.

    Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca. Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami?

    Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.

    Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.

    Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
    a. tanda baca yang tertib.
    b. ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
    c. pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.

    Menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian: yaitu unsur kata dan unsur kalimat

    Unsur kata :
    1. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi.

    Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.

    Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain.

    Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan "cutbrai") tetap perlu.

    2. Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.

    Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ''Hankam'', ''Bappenas'', ''Daswati'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan & Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', ''Daerah Swantantra Tingkat'' dan ''Hubungan Masyarakat''.

    Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat : ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran: ''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'').

    Tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya "Manikebu" untuk "Manifes Kebudayaan", "Nekolim" untuk "neo-kolonialisme". "Cinkom" untuk "Cina Komunis", "ASU" untuk "Ali Surachman").

    Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya "Jagung" untuk "Jaksa Agung", "Gepeng" untuk "Gerakan Penghematan", "sas-sus" untuk "desas-desus".

    Saya tak bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan: akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupa akan isi semula suatu akronim.

    Misalnya akronim "Gepeng" jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna "gerakan" dan "penghematan" yang terkandung dalam maksud semula, begitu pula akronim ''ASU''.

    Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting dalam bahasa Indonesia.

    Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah "dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya"; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.

    Pada dasarnya setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan.

    Contoh:
    Harian Kami, 4 Desember 1971, halaman 1:
    ''Sehubungan dengan berita 'Harian Kami' tanggal 25 November 1971 hari Kamis berjudul: 'Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan 'clearing' terhadap berita itu.''

    Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya jika bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat panjang, tapi juga si penulis sendiri.

    Contoh:
    Pedoman, 4 Desember 1971, halaman IV:
    ''Selama tour tersebut sambutan masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat sambutan hangat.''

    Perhatikan : Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, "yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat setempat."

    Sinar Harapan, 22 November 1971, halaman VII:
    "Di kampung-kampung kelihatan lebaran lebih bersemarak, ketupat beserta sayur dan sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap bersama oleh mereka."

    Perhatikan: Siapa yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis nampaknya lupa bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut "orang-orang kampung". Mengingat dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa berarti aneh dan lucu: "daging semur, opor ayam disantap bersama oleh ketupat-ketupat.