Saturday, May 28, 2005

Kutipan untuk Laporan Jurnalistik

oleh Masmimar Mangiang, Pemimpin Redaksi harian ekonomi Neraca

Seperempat abad yang lampau negara-negara yang tergabung di dalam gerakan Non-Blok hendak menyelenggarakan pertemuan, dan Kuba menjadi tuan rumah. Sebagai tuan rumah, pemerintah Havana menyiapkan agenda pertemuan, antara lain merencanakan konflik Iran dengan Amerika Serikat, sebagai salah satu sumber ketegangan dalam politik internasional pada masa itu, dibicarakan dalam pertemuan tersebut.

Indonesia berkeberatan dengan agenda ini. Menteri Luar Negeri Indonesia (waktu itu) Mochtar Kusumaatmadja memberikan keterangan kepada wartawan. Harian Kompas turut menyiarkan keterangan Menteri Kusumaatmadja dan menulis judul beritanya seperti berikut ini (tanggal edisi tidak tercatat).

"Usul mengenai Pertemuan Non Blok:
Hendaknya Juga Dibicarakan Soal Afganistan
dan Kamboja, Kecuali Iran-AS"

Menurut keterangan Menteri Kusumaatmadja -- seperti yang terbaca di dalam berita tersebut -- Indonesia mengusulkan, jika konflik Iran-Amerika Serikat dibicarakan, persoalan Afganistan (yang diduduki tentara Uni Soviet) dan Kamboja (yang diserbu Vietnam) juga harus dibicarakan. Dengan kalimat yang lain dapat dinyatakan bahwa menurut Indonesia, hendaknya juga dibicarakan soal Afganistan dan Kamboja, selain Iran-AS.

Hanya saja judul berita yang diturunkan Kompas bermakna lain. Judul itu menyatakan bahwa Indonesia mengusulkan agar pertemuan non-blok membicarakan masalah Afganistan dan Kamboja, tetapi TIDAK MEMBICARAKAN konflik Iran-Amerika Serikat.

Ini adalah kasus misleading oleh judul berita. Pembaca --yang berbahasa Indonesia dengan baik-- yang tidak sampai mengikuti isi laporan tersebut (hanya membaca judul berita) akan mendapatkan informasi yang keliru. Apa sebab terjadinya perubahan pengertian kalimat? Penyebabnya adalah penyamaan makna kata "kecuali" dengan kata "selain". Penyamaan makna itu mungkin berasal dari Menteri Kusumaatmadja, dan boleh jadi juga berasal dari reporter yang menulis atau editor yang menyunting berita tersebut.

Dalam masa yang hampir sama, suratkabar harian Sinar Harapan (tanggal edisi juga tidak tercatat) menurunkan berita tentang polemik test diagnostik yang oleh sebagian orang dianggap tidak bermanfaat dan hanya membuang-buang biaya. Berita suratkabar tersebut berisikan keterangan Menteri Keuangan (waktu itu) Ali Wardhana, dengan judul sebagai berikut.

Menteri Keuangan Ali Wardhana:
Test Diagnostik Tidak Hanya Menghabiskan Energi dan Biaya

Pembaca yang memiliki rasa bahasa yang baik, dan hanya membaca judul berita itu (tidak mengikuti keterangan Menteri Ali Wardhana secara penuh) akan mendapat kesan bahwa Menteri Wardhana juga tidak setuju dengan test diagnostik itu. Kalimat judul tersebut seolah-olah menyatakan bahwa menurut Menteri Wardhana, test diagnostik tidak hanya menghabiskan energi dan biaya, TETAPI ADA YANG LAIN YANG IA HABISKAN (bersifat pemborosan, atau boleh jadi kerugian). Kenapa demikian? Karena frase dalam kalimat Ali Wardhana yang diambil sebagai judul menggiring orang untuk meneruskan kalimat tersebut dengan pola yang dibiasakan (“tidak hanya itu, tapi lebih dari itu”, atau “tidak hanya itu, tapi juga ini”). Judul ini juga berpotensi misleading.

Jika penyamaan makna kata “selain” dan “kecuali” pada kasus pertama bersumber pada wartawan, maka ia akan menjadi persoalan lemahnya pemahaman wartawan akan makna kata. Tetapi jika penyamaan makna itu berasal dari Menteri Kusumaatmadja, maka ia menjadi persoalan perlakuan wartawan terhadap kutipan yang dia tulis di dalam laporannya. Itu berarti, si wartawan yang mengutip keterangan Menteri Kusumaatmadja membiarkan kekeliruan berbahasa narasumbernya muncul dalam laporan yang dia tulis. Kasus kedua juga meyangkut cara memperlakukan kutipan untuk laporan jurnalistik. Pemenggalan kalimat dapat mengubah arti, atau setidak-tidaknya dapat menggiring audience memahami isi pesan secara keliru.

Kedua-duanya mengisyaratkan bahwa dalam praktek kerap muncul kasus yang mengharuskan wartawan memperbaiki kutipan yang berasal dari keterangan lisan narasumber, atau bahkan keterangan yang disampaikan secara tertulis. Perbaikan itu sama sekali bukanlah pekerjaan terlarang. Tujuannya antara lain adalah untuk memperkuat efektivitas komunikasi, dan menyelamatkan khalayak dari contoh buruk berbahasa, namun ia harus dilakukan dengan teliti sehingga tidak terjadi perubahan makna pesan.

Masalah ini senantiasa dihadapi wartawan. Ia ada sepanjang masa, apalagi ketika harus mengutip keterangan narasumber yang disampaikan dengan bahasa yang kacau balau: mengandung kesalahan gramatika, cacat dalam logika, atau tidak memiliki rasa bahasa yang baik. Ia juga akan menjadi persoalan dalam mengutip keterangan yang berisikan pemborosan kata, kesalahan pemakaian istilah, kesinambungan gagasan yang tidak menentu, maupun keterangan yang tidak eksplisit.

Beberapa contoh berikut ini --diangkat dari kasus yang agak mutakhir-- adalah kutipan “bermasalah” yang jika diperbaiki dengan berhati-hati sebetulnya tidak menimbulkan persoalan.

Kasus 01

Tampilan di Media

"Saat ini sedang dilakukan pemetaan potensi-potensi awan. Kita harus mencari titik-titik awan secermat mungkin, sehingga hujan buatan yang kita lakukan tidak sia-sia. Jatuh ke laut misalnya," katanya. (Kompas, 25 Agustus 2003, keterangan Menteri Negara Riset dan Teknologi Hatta Rajasa tentang hujan buatan)

Pertimbangan

Kata “sedang” tidak diperlukan lagi (dapat dibuang) di dalam kalimat yang sudah mengandung keterangan waktu yang jelas (“saat ini”),karena ia hanya akan menimbulkan pemborosan kata.

Kata “potensi” tidak perlu ditulis dalam bentuk ulang (yang barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan sifat jamak). Hujan buatan tidak dilakukan, melainkan diciptakan.

Hasil Perbaikan

--- Versi A
"Saat ini dilakukan pemetaan potensi awan. Kita harus mencari titik-titik awan secermat mungkin, sehingga hujan buatan tidak sia-sia, jatuh ke laut misalnya," katanya.

--- Versi B
Saat ini, menurut Hatta Radjasa, dilakukan pemetaan potensi awan, titik-titik awan dicari secermat mungkin, sehingga hujan buatan tidak sia-sia, misalnya jatuh ke laut.

Kasus 02

Tampilan di Media

"Saat ini kualitas demokrasi kita sedang meningkat. Kesadaran Masyarakat [sic!] untuk menghadirkan figur pemerintahan yang bersih sangat kuat. Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, dikhawatirkan bakal menimbulkan letupan di kemudian hari," jelasnya. (Pikiran Rakyat, 24 September 2004, katerangan praktikus hukum Dindin S. Maolani, SH tentang calon ketua DPRD Jawa Barat)

Pertimbangan

Kalimat “Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, dikhawatirkan bakal menimbulkan letupan dikemudian hari" rancu. Ia perlu diubah agar menjadi logis. Di dalam kalimat ini pun penulisan kata depan “di” dibuat seperti penulisan awalan “di”.

Kata “sedang” tidak diperlukan lagi di dalam kalimat yang sudah memiliki keterangan waktu yang jelas (“kini”), karena ia hanya akan menimbulkan pemborosan kata.

Ketua DPRD bukan orang pemerintah.
“Kita” lebih baik diganti dengan “Indonesia”, agar media tidak menjadi bagian dari objek pembicaraan.

Praktisi adalah bentuk jamak. Walau kata itu bukan merupakan bagian dari kutipan, Didin S. sebaiknya disebut sebagai praktikus. Akan lebih jelas lagi jika Didin S. disebut sebagai pengacara, kalau dia pengacara.

Di dalam jurnalistik dianjurkan agar wartawan mengutamakan penggunaan istilah spesifik, dibandingkan dengan istilah yang lebih umum atau bermakna luas. Walau juga tidak merupakan bagian dari isi pernyataan narasumber, bentuk atribusi “jelasnya” adalah keliru. “Jelas” bukanlah kata kerja, melainkan kata sifat. Kekeliruan terjadi akibat penghematan bahasa yang berlebih-lebihan dan mengorbankan logika. Kita bisa mengubah bentuk “Didin menjelaskan,” atau “kata Didin S. menjelaskan.”

Hasil Perbaikan

Versi A
Menurut praktikus hukum Dindin S. Maolani, SH, kini kualitas demokrasi di Indonesia meningkat. Kesadaran masyarakat untuk menghadirkan figur yang bersih, katanya, sangat kuat. “Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, dikhawatirkan timbul letupan di kemudian hari," katanya.

Versi B
Menurut praktikus hukum Dindin S. Maolani, SH, kini kualitas demokrasi di Indonesia meningkat. Kesadaran masyarakat untuk menghadirkan figur yang bersih, katanya, sangat kuat. “Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, ia dikhawatirkan menimbulkan letupan di kemudian hari," katanya.

Versi C (tanpa mengubah kata “kita”, jika dianggap itu hak narasumber).
"Saat ini kualitas demokrasi kita meningkat. Kesadaran masyarakat untuk menghadirkan figur yang bersih sangat kuat,” katanya. Apabila keinginan tersebut tidak terakomodasikan, menurut Didin, dikhawatirkan timbul letupan di kemudian hari.

Kasus 03

Tampilan di media

"Tiga ratus anggota kami belum tahu apakah menjadi korban atau berada di tempat-tempat pengungsian. Saya berharap, satu dua hari ini dapat diketahui apakah meninggal atau masih hidup," katanya. (Antara, 27 Desember 2004, keterangan Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Irjen Pol. Bahrumsyah)

Pertimbangan

Kalimat “Tiga ratus anggota kami belum tahu apakah menjadi korban atau berada di tempat-tempat pengungsian” rancu. Siapa yang belum tahu, apakah 300 polisi itu menjadi korban atau berada di tempat pengungsian? Tiga ratus orang polisi itu, ataukah Bahrumsyah? Menurut kalimat yang tertulis, yang belum tahu adalah 300 polisi itu sendiri (tidak logis).

Kalimat “Saya berharap, satu dua hari ini dapat diketahui apakah meninggal atau masih hidup” juga rancu (tidak memiliki objek, tetapi ada keterangan objek)

Hasil Perbaikan

--- Versi A
Bahrumsyah mengatakan, 300 polisi belum diketahui nasibnya, apakah menjadi korban atau berada di tempat pengungsian. “Saya berharap, dalam satu dua hari ini dapat diketahui apakah mereka meninggal atau masih hidup," katanya.

--- Versi B
"Tiga ratus anggota kami belum diketahui nasibnya, apakah menjadi korban atau berada di tempat pengungsian. Saya berharap, dalam satu dua hari ini dapat diketahui apakah mereka meninggal atau masih hidup," katanya.

Kasus 04

Tampilan di Media

"Bahkan saat pertama kali datang bersama Wapres, banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja, tanpa ada penanganan lebih lanjut karena tidak adanya petugas medis maupun perawat," ucap Basuki. (Antara, 27 Desember 2004, keterangan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum, Basuki Hadi Mulyono)

Pertimbangan

Siapa yang datang bersama Wakil Presiden? Yang datang itu adalah Basuki Hadi. Hanya saja menurut kalimat yang ditampilkan, yang datang bersama Wakil Presiden itu adalah korban, dan pada saat pertama kali datang itu banyak di antara mereka yang luka maupun meninggal, dan diletakkan begitu saja.

Di dalam kalimat ini ada kategorisasi yang kacau. Kedudukan istilah “petugas Medis” disetarakan dengan “perawat”. Pada jenjang abstraksi kata, “petugas Medis” berada di anak tangga yang lebih tinggi (bermakna lebih luas) dibandingkan dengan “perawat”. “Perawat” adalah “petugas medis” atau salah satu jenis “petugas medis”, tetapi “petugas medis” tidak selalu “perawat”.

Hasil Perbaikan

--- Versi A
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadi Mulyono menceritakan, saat pertama kali dia datang bersama Wakil Presiden, bahkan banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja. Katanya, tidak ada petugas medis di situ.

--- Versi B
"Bahkan saat pertama kali saya datang bersama Wapres, banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja, tanpa ada penanganan lebih lanjut karena tidak ada petugas medis," kata Basuki.

--- Versi C (kalau ingin lebih tepat)
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadi Mulyono menceritakan, bahkan saat pertama kali dia datang bersama Wakil Presiden, banyak korban yang luka maupun meninggal diletakkan begitu saja. Katanya, tidak ada perawat maupun petugas medis lainnya di situ.

Kasus 05

Tampilan di Media

“Kami telah mengeluarkan daftar pencarian orang sebanyak 11 terhadap warga negara asing yang semuanya adalah warga negara Malaysia dan lima warga negara Indonesia sendiri,” kata Kapolda. (Sinar Harapan, 8 Maret 2005, keterangan Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Polisi Dodi Sumantyawan)

Pertimbangan

Kalimat yang diucapkan Kapolda Papua (seperti yang ditulis wartawan) itu bermakna bahwa dia sudah mengeluarkan 11 daftar pencarian orang. Daftar pencarian orang itu, menurut kalimat tersebut, dikeluarkan terhadap 11 warga negara Malaysia dan lima warga negara Indonesia. Apa makna kata-kata “dikeluarkan terhadap”? Tidak jelas.

Tetapi dapat dipastikan bahwa Kapolda Papua ini menyatakan bahwa dia sudah mengeluarkan daftar nama orang yang harus dicari (ditangkap). Di dalam daftar itu ada 11 nama orang Malaysia dan lima orang Indonesia.

Hasil Perbaikan

--- Versi A
Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen (Pol) Dodi Sumantyawan menyatakan sudah mengeluarkan daftar pencarian orang. Di dalam daftar itu, katanya, ada 11 nama warga negara Malaysia dan lima warga negara Indonesia.

--- Versi B
“Kami telah mengeluarkan daftar pencarian orang,” kata Kapolda. Ada 11 nama warga negara Malaysia di dalam daftar itu, katanya, dan lima warga negara Indonesia.

Menyunting Kutipan

Akhir tahun lalu di antara anggota mailing list Yayasan Pantau ada perdebatan perihal penulisan kutipan ini. Yang menjadi persoalan adalah penulisan hasil wawancara Koran Tempo dengan pimpinan Partai Rakyat Demokratik, Budiman Sudjatmiko, yang bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Salah satu kalimat Budiman Sudjatmiko berbunyi;

"Kita ingin memperjuangkan idealisme kita tentang bangsa yang selama ini tidak pernah terealisasi ketika kita berada di luar sistem. Idealisme ini hanya akan saya dapat dengan masuk partai politik."

Menurut salah seorang anggota mailing list ini, Radityo Djadjoeri (pernah bekerja di Majalah SWA) kata “kita” yang dipakai Budiman Sudjatmiko selayaknya diganti dengan “kami” oleh Koran Tempo, karena kata “kita” membuat orang yang diajak bicara menjadi bagian dari “kita” itu.

Anggota mailing list yang lain, Agoes Sopian (dari Yayasan Pantau) tidak sependapat dengan Radityo Djadjoeri, dan mengatakan bahwa Koran Tempo benar. Menurut dia, kutipan langsung tak bisa diperlakukan dengan semena-mena. Agoes Sopian mengajukan pendapat sebagai berikut:

“Kutipan langsung sering memberi kita suatu penanda (signifier). Dalam kasus pemberitaan Budiman Sudjatmiko -- sebagaimana dimuat Koran Tempo edisi 9 Desember 2004 -- itu sudah pada tempatnya. Saya bahkan mau memuji Koran Tempo yang tak menghilangkan kata "kita" itu. Koran Tempo hendak menunjukkan penanda (signifier) bahwa Sudjatmiko bukanlah seorang "politikus biasa." Dia seorang propagandis sejati. Dia berusaha untuk terus berempati dengan audiensnya -- media cetak atau elektronik. Koran Tempo dalam hal ini, cukup jeli untuk tak tergoda menarasikan ungkapan Budiman Sudjatmiko (sehingga bisa diedit), yang notabene akan menghilangkan penanda tadi.”

Selanjutnya Agoes Sopian menyatakan;

Alasan kutipan langsung untuk tak diedit adalah juga asas manfaat. Sering kutipan langsung memperlihatkan latar belakang budaya, etnisitas. Alasan lain, sering kutipan langsung --dengan dialek dan istilah tertentu-- juga ikut memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Anda jangan berpretensi bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sudah jadi (establish) [sic!].

Kosakata bahasa Indonesia barangkali tak sampai 10 persen dari kosakata bahasa Inggris, dan masih memerlukan simbol-simbol lain untuk ajeg, berdaya guna, siap pakai.

Pendek kata, bahasa jurnalisme tak hanya berurusan dengan tatabahasa belaka, tapi juga "rasa-bahasa." . Efek komunikatif hanya bisa berlangsung dengan baik ketika keduanya dibiarkan mengambil peranan masing-masing.

Agoes Sopian tidak menanggapi persoalan makna kata tidak samanya pengertian “kita” dengan “kami”-- yang menjadi alasan keberatan Radityo Djadjoeri, dan menginterpretasikan bahwa Koran Tempo mempertahankan kata “kita” sebagai penanda bahwa Budiman Sudjatmiko bukanlah politikus biasa, propagandis sejati, yang terus berusaha berempati dengan audience. Tidaklah diketahui apakah itu semata-mata interpretasi Agoes Sopian, ataukah dia pernah menanyakan kepada Koran Tempo alasan suratkabar tersebut mempertahankan kata “kita” itu. Yang jelas, dari Radityo Djadjoeri muncul jawaban antara lain sebagai berikut.

Saya kok kurang 'sreg' kalau wartawan mesti mengklasifikasikan narasumber seperti Anda sebut: "politikus biasa". Berarti ada "politikus luar biasa", ada "propagandis sejati" dan ada pula "propagandis tak sejati" dan sebagainya. Rasanya pers tak perlu memberi tanda 'ini orang penting' dan 'dia orang biasa'. Pers juga tak perlu mendikte pembacanya, jadi biarkan para pembaca yang menilai bobot narasumber itu sendiri -- toh persepsi orang lain-lain.

Orang ketiga, juga anggota mailing list, Hernani Sirikit (pernah bekerja di SCTV, sekarang Ketua Lembaga Konsumen Media di Surabaya, dan anggota Komisi Penyiaran Indonesia [KPI ] Daerah), nimbrung dalam debat ini. Dia menulis;

“Soal kutipan narasumber, tidak ada yang haram diedit. Semua kutipan diedit. Bisa membayangkan kutipan langsung yang tidak diedit? (Sebagai wartawan TV saya pernah mewawancarai orang yang jawabannya pakai nomor urut: pertama ... kedua ... sampai ketujuh, sampai kaki saya ditendang kameraman yang keberatan manggul kamera, dan di kantor disindir editor yang menganggap saya 'bodoh amat sih, gitu dilayani, kok gak diberitahu intinya saja'.)

Tapi saya juga pernah melihat editing berita televisi yang sangat kasar. Ketika Amien Rais menjawab pertanyaan dengan "pertama ....", alasan 'kedua'nya hilang, dipotong, padahal saya ingin sekali tahu, apa alasan 'kedua' yang dia maksud. Jadi, dalam hal seperti ini, mestinya reporter memandu narasumber di lapangan, kalau menjawab langsung (on camera atau on tape) sebaiknya DIRINGKAS sendiri. Ini jauh lebih baik, karena intinya dikendalikan oleh narasumber, daripada diedit editor di ruang edit -- mana tahu dia maksud yang paling penting dan kurang penting? Kalau di koran, ya di-rephrase oleh wartawan atau redaktur. Tidak ada yang haram dengan rephrasing.

Debat seperti ini sehat. Ia menunjukkan bahwa tetap ada jurnalis yang mempertimbangkan mutu jurnalisme: akurasi informasi, kejelasannya, dan akibat-akibat yang ditimbulkannya di dalam masyarakat. Karena ia bersifat tukar pikiran biasa, tidak ada kesimpulan dari debat ini. Ia berhenti begitu saja, dan pihak-pihak yang berdebat tampaknya bertahan dengan pendapatnya masing-masing.

Menurut pendapat masing-masing, begitulah agaknya wartawan dan media massa memperlakukan kutipan dalam laporan jurnalistik, hingga sekarang. Tidak ada standard atau kesepakatan tentang ini. Ada yang berpendapat bahwa kutipan langsung tidak boleh disunting, atau harus dipertahankan dalam bentuk seperti yang diucapkan narasumber. Pendapat ini agaknya didasari oleh prinsip mempertahankan akurasi seakurat mungkin. Namun ada pula yang berkeyakinan lain, kutipan langsung dapat saja disunting, kalau memang diperlukan.

Kutipan yang diperlihatkan Kasus 01 sampai Kasus 05 tadi mungkin dibuat oleh wartawan yang hendak mempertahankan keaslian kalimat, walau tidak tertutup kemungkinan penyajian seperti itu muncul akibat kurang baiknya penguasaan bahasa.

Jika tadi Hernani Sirikit menyebut istilah “tidak ada yang haram” untuk urusan seperti itu, dia sebetulnya benar. Hanya saja untuk itu tentu ada catatan, yakni selama perubahan yang dilakukan itu tidak mengubah makna kalimat dan -- sedapat mungkin-- maksud yang diinginkan narasumber.

Sayangnya, makna kalimat dan maksud yang diinginkan narasumber tidak pernah dinyatakan narasumber itu secara khusus. Ia harus ditangkap dan dipahami oleh reporter lewat kalimat itu sendiri, dan dengan memperhatikan narasumber berbicara. Ilustrasi berikut ini diharapkan dapat memberikan penjelasan.

A adalah pelatih kesebelasan X.
B adalah asistennya.
Kesebelasan X kalah pada suatu pertandingan. Menurut B, kekalahan itu
disebabkan oleh kelemahan C, salah seorang pemain belakang.
Ketika pertandingan berlangsung kepada A, B menyarankan agar C diganti, tapi
A mengabaikan saran itu.
B agak kecewa, dan sinis melihat keputusan sang pelatih.
Kepada wartawan (R), B bercerita dalam suatu wawancara.

R: Jadi, kekalahan ini antara lain disebabkan oleh kelemahan C?
B: Iya! You mungkin memperhatikan, ada tujuh kali dia kalah adu lari dengan
pemain lawan yang seharusnya dia jaga. Saya sudah menyarankan kepada A sejak akhir babak pertama agar C diganti. Tapi dia tidak mau mendengarkan saran
itu. Akhirnya, coba lihat! Hasilnya cuma kekalahan.
R: Apa alasan A untuk mempertahankan C?
B: Mana saya tahu?! (diucapkan dengan agak mencibir)

Kalimat “Akhirnya, coba lihat! Hasilnya cuma kekalahan” membawa makna
seperti yang diperlihatkan kata-kata di dalam kalimat itu. Pernyataan B
bermakna menyuruh si reporter melihat sendiri bahwa hasil dari keputusan A
hanyalah kekalahan. Tapi harap dipahami bahwa di balik kalimat itu ada
pemikiran yang menyesali keputusan A.

Kalimat “Mana saya tahu?!” dari B bermakna bahwa dia tidak memahami alasan A untuk mempertahankan C terus bermain. Karena bunyi kalimat itu sendiri, dan karena bahasa tubuh yang diperlihatkan oleh B pada saat mengucapkan kalimat itu (agak mencibir) terlihat maksud untuk menunjukkan kekecewaan dan sinisme.

Makna dan maksud itulah yang tidak boleh hilang, atau hanya sekadar berubah, manakala kutipan diperbaiki. Agar makna dan maksud kalimat tidak terganggu, serta pengutipan tidak membuahkan kesalahan, beberapa butir persoalan berikut ini perlulah diperhatikan.

… Perbaikan dapat saja dilakukan kalau di dalam kutipan ditemukan kesalahan tata bahasa, kerusakan logika bahasa, dan kejanggalan yang tidak dapat diterima rasa bahasa.

Perbaikan pun dapat dilakukan jika menghasilkan penghematan kata. Dalam melakukan itu semua, reporter maupun editor, hendaknya selalu membuat pertimbangan dan mengambil keputusan dengan teliti sehingga perbaikan itu tidak melahirkan perubahan makna.

… Jangan sekali-kali mengubah kata sifat yang menyatakan pendapat atau kesimpulan orang ataupun institusi yang dikutip. Perbaikan kutipan yang mengandung pendapat narasumber lebih baik ditulis dalam bentuk kutipan tidak langsung.

… Keaslian kalimat kutipan perlu dipertahankan dengan mempertimbangkan relevansinya. Originalitas kutipan menjadi relevan untuk dipertahankan jika dianggap dapat memberikan dukungan pada fakta yang lain di dalam laporan itu.

Contoh
Sepejam pun dia tidak tidur semalam. Pagi ini matanya merah. “Kalau gua
jalan, rasanya melayang,” katanya.

Kutipan yang diambil dari kata-kata tokoh ceritanya, dimaksudkan untuk memperkuat fakta bahwa sama sekali dia tidak tidur semalam.

Keaslian kutipan juga dipertahankan kalau ia dapat menjadi warna pada tulisan, misalnya menunjukkan identitas si narasumber (contohnya dialek daerah yang menunjukkan warna lokal), mengisyaratkan keadaan emosinya (cemas, gembira, kesal) pada saat berbicara, atau menunjukkan watak (rendah hati, sombong, pemalu) si narasumber tersebut.

… Perhatikan bahasa tubuh yang menyertai bahasa lisan, karena kedua-duanya membawa satu maksud. Apabila bahasa tubuh dihilangkan (padahal selayaknya ditulis) maksud yang ditangkap audience bisa jadi berbeda dengan yang asli. Tetapi jangan menginterpretasikan bahasa tubuh narasumber dengan kalimat sendiri. Kalau dia mengepalkan tinju, jangan disebut “geram”, tulis saja faktanya, “mengepalkan tinju”.

Pernyataan lisan dan bahasa tubuh: (X berkata, "Dia belum kenal gua rupanya!" Sembari mengucapkan kalimat itu X menepuk-nepuk dadanya).

Tulislah seperti ini;
“Dia belum kenal gua rupanya!” kata X sembari menepuk-nepuk dada.

Jangan ditulis seperti ini;
“Dia belum kenal gua rupanya!” kata X dalam nada emosional.

Juga jangan ditulis seperti ini;
Dengan agak geram X berkata, “Dia belum kenal gua rupanya!”

… Kutipan yang bersumber pada dokumen, hendaknya disertai dengan penjelasan (attribution) tentang sumber itu. Tetapi penyebutan sumber dokumen dapat diabaikan jika yang dikutip itu sudah menjadi pengetahuan umum.

Jika Anda lupa tahun berapa Adam Malik menjadi wakil presiden, Anda mungkin mencari buku atau dokumen lain untuk dijadikan sumber. Di situ Anda mendapatkan keterangan: 1978-1983. Keterangan ini dapat dikutip tanpa menyebutkan dari sumber apa ia berasal.

Penyebutan sumber dokumen juga dapat diabaikan apabila diyakini bahwa isi kutipan itu tidak akan menimbulkan kontroversi, walaupun sebetulnya tidak banyak orang yang tahu isi kutipan itu.

Apabila hendak mengetahui luas Pulau Bali, Anda tentu akan mencari dokumen atau masuk ke suatu situs lewat internet, dan mendapatkan angka yang menunjukkan luas Pulau Bali. Apabila angka itu Anda kutip, penyebutan sumber dapat diabaikan.

Tetapi, manakala ada dua sumber tertulis -- sebetulnya demikian pula untuk sumber lisan-- yang menyebut fakta secara berbeda, dan Anda harus mengutip sumber itu, berhati-hatilah.

Pertimbangkanlah kredibilitas sumber-sumber itu. Yang paling dapat dipercaya, boleh dipakai, dan sebutkan nama sumber itu. Jika Anda ragu mana di antara dua sumber itu yang mendekati kebenaran, sebutlah kedua-duanya, dan tunjukkan perbedaan fakta yang ditemukan.

… Penyebutan sumber menjadi keharusan, jika bersifat eksklusif.

… Keaslian harus dipertahankan untuk kutipan yang bersumber dari dokumen berupa ketentuan peraturan atau undang-undang. Tetapi, isi dokumen seperti news release masih mungkin diperbaiki, selama tidak mengubah arti kalimat semula.

… Bentuk asli isi dokumen yang bernilai historis juga harus dipertahankan.

… Pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh untuk menerima permintaan not for attribution dari narasumber. Apabila pelanggaran permintaan not for attribution itu diperkirakan akan membahayakan keselamatan narasumber, janganlah sekali-kali melanggar permintaan itu. Pelanggaran permintaan not for attribution walau diyakini tidak akan membahayakan keselamatan narasumber tetap merupakan pelanggaran etika. Oleh karena itu, sebaiknya reporter membicarakan untung-rugi (bagi narasumber dan bagi media) pemuatan kutipan tanpa attribution itu dengan narasumber.

… Gunakan ukuran etika dan hukum dalam mempertimbangkan kelayakan suatu
pernyataan yang hendak dikutip, misalnya untuk kata-kata kasar: mencerca,
bersifat cabul.

Teknis Penulisan

Di luar bentuk penyajian kutipan yang diperlihatkan contoh tadi, ada berbagai-bagai bentuk yang terlihat dalam praktek. Ada penyajian yang dibuat dengan berhati-hati. Kalimat asli narasumber dipertahankan oleh si pelapor, tetapi dengan menyertakan penjelasan dia sendiri di dalam tanda kurung pada kutipan tersebut, seperti contoh berikut ini.

"Persoalan ini sudah berawal hampir dua tahun lalu. Sekitar dua bulan lalu, dalam rapat banjar, mereka (pemilik dari rumah yang dirusak warga) menyatakan keluar dari Banjar Batuparas dan mengaku telah diterima masuk ke Banjar Robokan. Namun, kenyataannya mereka masih tinggal di wilayah Banjar Batuparas. Warga Banjar Batuparas tidak terima," kata Loteng ketika ditemui Sabtu kemarin. (Kompas, 13 Maret 2005)

Bentuk lain yang tampaknya dibuat dengan lebih berhati-hati lagi adalah dengan menyajikan kutipan disertai penjelasan dari redaksi dan menyatakan bahwa catatan itu dari redaksi, seperti contoh berikut ini.

"Kita menunggu jawaban dari dia (Jaksa Agung -- Red),” katanya.

Walau begitu, juga ada kutipan langsung maupun tidak langsung yang disajikan tanpa keberhati-hatian. Contohnya, berikut ini.

Menurut SPR, apa yang dinyatakan oleh Todung Mulya Lubis dan rekannya itu jelas merupakan kebohongan publik yang sangat menyesatkan. Sebab, fakta yang terjadi setelah kenaikan harga BBM adalah kebalikannya. (Media Indonesia, 14 Maret 2005)

Kalimat pertama adalah kutipan tidak langsung dari penjelasan yang diberikan Serikat Pengacara Rakyat (SPR). Kalimat kedua, bukanlah kalimat kutipan. Kalimat kedua itu adalah paraphrase, kalimat si penulis sendiri untuk menceritakan kenyataan yang dia ketahui, padahal kalimat kedua ini – dapat diduga -- juga berasal dari SPR dan merupakan alasan untuk pendapat SPR yang terbaca di dalam kalimat pertama.

Dalam hal ini, pembaca “diharap maklum” bahwa pernyataan pada kalimat kedua bukanlah kalimat si wartawan. Oleh karena itu pembaca juga diharap maklum bahwa pendapat yang ada di dalam kalimat kedua itu bukan pendapat si pelapor. Agaknya, menurut pendapat para wartawan yang suka memakai cara pengutipan seperti ini, karena sudah didahului oleh kutipan, kalimat berikutnya diharapkan juga dipahami sebagai kelanjutan dari kutipan itu.

Penulisan seperti ini dilakukan oleh banyak wartawan, dan ditemukan dalam banyak laporan jurnalistik berbagai media. Ia mungkin dipakai untuk menghindari munculnya begitu banyak attribution dalam satu artikel yang sering membuat laporan itu tidak enak dibaca. Hanya saja cara seperti itu sebetulnya berisiko. Risiko itu adalah, timbulnya kesan bahwa si pelapor memasukkan opininya ke dalam laporan yang dia tulis (jika kalimat tersebut mengandung opini), sesuatu yang sebetulnya terlarang dalam penulisan berita.

Risiko lain adalah, jika pendapat yang tersaji di dalam kalimat berbentuk paraphrase itu mengundang polemik atau bahkan perkara, narasumber yang mengucapkan pernyataan itu mempunyai bukti kuat bahwa menurut berita yang disajikan itu kalimat tersebut tidak berasal dari dia.

Demi akurasi, sebaiknya kutipan tersebut disajikan seperti berikut ini.

Menurut SPR, apa yang dinyatakan oleh Todung Mulya Lubis dan rekannya itu jelas merupakan kebohongan publik yang sangat menyesatkan. Fakta yang terjadi setelah kenaikan harga BBM, demikian SPR, adalah kebalikannya.

Cara lain yang sebetulnya juga kurang teliti adalah melepaskan attribution dari kutipan langsung, dan memberikan penjelasan di dalam kalimat yang lain,
seperti contoh berikut ini.

Yang jelas tak seorang pun akan menampik kebenaran kata-kata Perdana Menteri Swedia Goran Persson ini. “Tak pernah langkah memasuki tahun baru seberat sekarang.” (TEMPO, edisi 10-16 Januari 2005, halaman 43).

Demikian pula dengan contoh ini.

Apa sudah menulis puisi mengenai bencana Aceh? “Mungkin belum, karena beliau belum saya lihat sibuk dengan diarinya.” Ini jawaban sekretarisnya, Rina Sabrina. (TEMPO, edisi 10-16 Januari 2005, halaman 113).

Sebetulnya kutipan ini akan lebih baik jika ditulis;

Yang jelas tak seorang pun akan menampik kebenaran kata-kata Perdana Menteri Swedia Goran Persson ini: “Tak pernah langkah memasuki tahun baru seberat sekarang.”

dan;

Apa sudah menulis puisi mengenai bencana Aceh? “Mungkin belum, karena beliau belum saya lihat sibuk dengan diarinya,” begitu jawab sekretarisnya, Rina Sabrina.

Juga ada cara penulisan kutipan yang tidak teliti yang dibuat media. Ia juga melepaskan attribution dari kutipan langsung. Kutipan tersebut tersaji dengan diapit tanda petik (bentuk seperti ini juga dibiasakan suratkabar asing). Seperti contoh sebelumnya, agaknya pembaca juga diharap maklum, bahwa kutipan tersebut berasal dari narasumber yang pernyataannya sudah dikutip sebelumnya, seperti berikut ini.

... selalu mengembara dari satu musim bunga ke musim bunga yang lain. “Yang
paling bagus bunga randu,” kata Herman, 59 tahun, eksportir asal Yogyakarta.
“Protein tepung sarinya sangat tinggi.” (TEMPO, edisi 10-16 Januari 2005,
halaman 100)

Sebetulnya hampir tidak pernah timbul masalah dari bentuk kutipan semacam ini. Akan tetapi, akan lebih aman jika ia disajikan sebagai berikut.

... selalu mengembara dari satu musim bunga ke musim bunga yang lain. “Yang paling bagus bunga randu,” kata Herman, 59 tahun, eksportir asal Yogyakarta, “protein tepung sarinya sangat tinggi.”

atau;

... selalu mengembara dari satu musim bunga ke musim bunga yang lain. “Yang
paling bagus bunga randu, protein tepung sarinya sangat tinggi,” kata Herman, 59 tahun, eksportir asal Yogyakarta.

Dasar Pertimbangan dalam Bekerja

Jurnalis bekerja merekonstruksi fakta, dengan memakai bahasa, lewat cerita. Bahasa mengenal apa yang disebut sebagai makna. Kita mengenal apa yang disebut sebagai interpretasi, yang tidak semata-mata terbentuk lewat makna. Kita pun mengenal apa yang disebut sebagai kebenaran, dan juga fakta. Bagi jurnalis, kutipan dikategorikan sebagai fakta. Narasumber X berkata, “Kami sedang mempelajari kemungkinan ekspor ke Timur Tengah.” Adalah fakta, bahwa X menyatakan, dia dan orang-orang di perusahaannya sedang mempelajari kemungkinan ekspor ke Timur Tengah.

Narasumber X berkata, “Daya beli konsumen dalam negeri masih rendah.” Adalah fakta bahwa X membuat dan menyatakan penilaian tentang daya beli konsumen dalam negeri yang menurut dia masih rendah. Apakah pendapat si X sesuai dengan fakta di lapangan? Betulkah daya beli konsumen di dalam negeri rendah? Itu persoalan lain. Fakta menunjukkan bahwa si X berpendapat demikian, atau bahwa X berpendapat seperti itu, bagi jurnalis dianggap fakta.

Kutipan, baik dalam bentuk tipografi ataupun yang bersifat fonetik, adalah alat yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berbentuk seperti itu, entah ia diucapkan, entah ia dinukilkan berupa simbol tertulis. Ini adalah pekerjaan yang sifatnya rekonstruktif, dan rekonstruksi tidak pernah menghasilkan sesuatu yang sama seperti aslinya.

Cukup luas untuk “diberi pagar” buat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam merekonstruksi segenap kenyataan yang ditemukan, dan cukup samar-samar untuk disajikan dalam bentuk yang nyata seperti apa ia sebenarnya.

Apakah persoalan ini begitu pelik? Sama sekali tidak, jika ada kemauan untuk membuatnya tidak rumit. Objektivitas yang sesungguhnya tidak pernah dicapai. Wartawan tidak mungkin menyajikan kebenaran mutlak.

Kenyataan itulah yang menghendaki bahwa wartawan haruslah orang yang jujur. Karena itulah, wartawan haruslah orang yang dapat berpikir logis sehingga dapat berbahasa dengan logis. Karena itulah, wartawan haruslah orang yang teliti. Karena itulah, wartawan haruslah orang yang berpengetahuan (umum) baik, agar dia dapat memahami penjelasan yang diberikan narasumber dan mengerti konteks persoalan. Karena itulah, wartawan harus rajin membaca.

Sama sekali tidaklah berarti bahwa wartawan harus menjadi “superman”. Ini hanya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa merekonstruksi fakta yang hendak disampaikan kepada publik harus dilakukan dengan modal yang cukup, moral, pengetahuan, kemampuan memahami segala sesuatunya dengan baik, dan kemampuan ekspresi yang jernih. Kebenaran mutlak hanya dapat didekati, dan untuk mendekatinya --dalam menyajikan informasi berupa kutipan bagi khalayak-- hanya ada satu jalan: hindari kekeliruan makna, dan kurangi bias. ***

No comments: